Bisnis.com, JAKARTA - Investor yang mengoleksi obligasi negara-negara Asia diproyeksi bakal mengalami volatilitas setidaknya hingga kuartal I/2017.
Ng Kheng Siang, Head of Asia Pacific Fixed Income State Street Global Advisor, menuturkan Presiden Amerika Serikat periode terpilih Donald Trump berpotensi menerapkan kebijakan anti-globalisasi seperti yang paparkan dalam kampanye.
"Kalau itu dijalankan, kejutannya akan cukup besar. Aksi jual asing dari pasar surat utang Indonesia dan Malaysia berpotensi berlanjut," kata Ng seperti dikutip dari Reuters, Senin (21/11/2016).
Janji Trump untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan inflasi AS lebih tinggi dengan stimulus fiskal juga mendorong apresiasi dolar terhadap mata uang negara-negara lain.
Ekspektasi kenaikan inflasi, rencana penaikkan Fed Fund Rate, dan apresiasi dolar menyebabkan berlanjutnya aliran dana keluar dari pasar negara-negara Asia.
"Negara yang patut diantisipasi adalah yang punya posisi defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal, serta negara yang punya kepemilikan asing dengan porsi besar dalam aset berdenominasi lokal," kata Ng.
Berdasarkan tiga faktor tersebut, tidak mengejutkan apabila Indonesia dan Malaysia menjadi negara yang paling terpukul. Pasalnya, kepemilikan asing di pasar modal dua negara Asia Tenggara itu mencapai lebih dari 50%.
Apabila greenback terus menguat, lanjutnya, Indonesia dan Malaysia rentan mengalami capital outflow yang lebih signifikan.
Ng mengatakan Indonesia punya posisi yang lebih baik dibandingkan Malaysia dalam upaya fiskal dalam mendorong perekonomian.
Alasannya, pada tahun depan akan ada Pemilu di Negeri Jiran. Lembaga rating akan bereaksi negatif apabila pemerintah Malaysia menggulirkan belanja fiskal yang terlalu besar.
"Bahkan juga efek Trump mereda, dampak Brexit dan referendum Italia pada Desember akan ikut memicu volatilitas di pasar surat utang Asia Pasifik," katanya.