Bisnis.com, JAKARTA – Harga CPO minyak kelapa sawit tertekan akibat masa libur di China dan turunnya harga kedelai di Amerika Serikat.
Meskipun demikian, harga masih berpotensi mencapai level 2.900 ringgit per ton atau level tertinggi baru sepanjang 2016 pada November seiring dengan membaiknya faktor fundamental.
Pada perdagangan Bursa Malaysia, Jumat (7/10) pukul 16:54 WIB, harga CPO kontrak Desember 2016 turun 19 poin ke level 2.560 ringgit (US$619,33) per ton.
Ibrahim, Direktur Utama PT Garuda Berjangka, mengatakan saat ini harga CPO tertekan karena mengikuti rendahnya harga kedelai sebagai komoditas subtitusi. Amerika Serikat, sebagai produsen kedelai terbesar di dunia, sedang dalam masa panen raya, sehingga harga komoditas tersebut menurun.
Di sisi lain, China sebagai salah satu importir minyak sawit terbesar sedang mengalami masa libur nasional pada tanggal 1—7 Oktober 2016. Alhasil permintaan pasar agak tersendat.
Menyinggung soal penetapan tarif bea keluar (BK) ekspor dari Indonesia pada Oktober sebesar US$3 per ton, menurut Ibrahim, tidak berpengaruh terhadap harga di bursa Malaysia. Pasalnya, baik pengusaha di dalam negeri maupun pihak importir sudah mengantisipasi kebijakan ini sejak lama.
Pekan lalu, Kementerian Perdagangan menetapkan harga referensi produk CPO untuk penetapan BK periode Oktober 2016 sebesar US$781,49 per ton pada Senin (26/9). Harga tersebut naik US$71,33 atau 10,04% dari September 2016 senilai US$710,16 per ton.
Dalam siaran resmi, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Dody Edward mengatakan harga referensi CPO kembali menguat dan telah berada di atas ambang batas pengenaan BK di level US$750. Untuk itu, CPO dikenakan BK sebesar US$3 per ton untuk periode Oktober 2016.
“Kebetulan momen pengenaan BK pas dengan liburan China dan panen raya kedelai di AS. Sebetulnya dua faktor [China dan AS] itulah yang menekan harga, ” tutur Ibrahim saat dihubungi Bisnis.com, Kamis (6/10/2016).
Menurutnya, harga CPO masih berpeluang menguat seiring dengan naiknya permintaan dari negara-negara importir seperti AS, China, India, dan Eropa. Sentimen tersebut mengungguli penurunan penyerapan dari negara-negara di Timur Tengah dan Afrika.
Pada Agustus 2016, ekspor CPO Indonesia ke AS mencatatkan kenaikan terbesar sejumlah 183% menuju 135.150 ton dibandingkan bulan sebelumnya 47.730 ton. Sementara serapan China tumbuh 69% menjadi 267.980 ton dari Juli sebanyak 158.790 ton.
Impor CPO India dari Indonesia pada Agustus naik 42% menuju 497.300 dari Juli sebesar 351.240 ton. Adapun Eropa tumbuh 42,8% menjadi 486.050 dari bulan lalu sebanyak 340.370 ton.
Sementara itu, dalam periode yang sama, ekspor CPO Tanah Air ke negara-negara di Afrika serta Timur Tengah masing-masing tergerus 43% dan 37%.
Pada Oktober—November, Ibrahim memperkirakan harga bakal meningkat kembali seiring dengan naiknya permintaan, terutama dari AS yang sedang mengalami musim dingin sampai Maret 2017. Pertumbuhan ekonomi China dan India pun mengalami pemulihan.
Dari negara produsen utama, yakni Indonesia dan Malaysia, penyerapan CPO akan digenjot untuk program penggunaan bahan bakar biodiesel.
Dalam jangka panjang harga CPO mendapat tantangan baru, yakni tumbuhnya sentral produksi baru di Afrika dan Amerika Latin. Kedua wilayah ini diperkirakan mulai melakukan panen pada tahun depan.
Meskipun demikian, lanjut Ibrahim, sentimen pasokan baru itu akan tertanggulangi oleh penyerapan tingginya penyerapan di Indonesia dan Malaysia. Presiden Jokowi mencanangkan Indonesia menyerap 60% pasokan dalam negeri untuk biodiesel.