Bisnis.com, JAKARTA--Meskipun masih dibayangi tren bearish menjeleng referendum Brexit, mata uang pound sterling (GBP) mengalami penguatan seiring dengan melesunya dolar Amerika Serikat dan meningkatnya permintaan pasar Asia.
Pada perdagangan Selasa (7/6/2016) pukul 17:16 WIB nilai tukar GBP-USD menguat 0,94% menuju 1,4578 per dolar AS. Artinya sepanjang tahun berjalan nilai sudah terkoreksi 1,13%.
Dalam waktu yang sama, indeks dolar menurun 0,104 poin atau 0,11% menuju 93,798. Angka tersebut menunjukkan harga sudah merosot 4,88% sepanjang 2016.
Joseph Capurso, Senior Currency Strategist Commonwealth Bank of Australia, mengatakan harga GBP cenderung volatil menjelang referendum Brexit yang jatuh pada 23 Juni 2016. Saat itu akan menjadi keputusan keluar atau menetapnya Inggris di Uni Eropa.
Nilai pound sterling yang cenderung murah diperkirakan menjadi pemicu kenaikan transaksi, terutama dari pasar Asia. "Namun, investor dan analis masih belum mengetahui secara pasti mengapa terjadi transaksi yang signifikan pada GBP," tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (7/6/2016).
Pada perdagangan sebelumnya, Senin (6/6) pound sterling menurun sebanyak 1,1% akibat rilis tiga data mengenai jajak pendapat Brexit yang menunjukkan kemungkinan Inggirs memisahkan diri dari Uni Eropa lebih dominan. Sementara dua hasil voting lainnya yang dilansir di hari sama menunjukkan hasil Negeri Raja bakal menetap.
Joseph menambahkan, semakin besar peluang Brexit, maka semakin melemah posisi pound sterling. Mata uang tersebut sempat meluncur ke level terendah, yakni 1,3836 per dolar AS pada Februari 2016.
Chief Market Analyst FXTM Jameel Ahmad menuturkan, dolar memulai perdagangan pekan ini dengan mencoba merebut kembali momentum, setelah mengalami penurunan ekstrem akibat buruknya data non-farm payroll (NFP).
Data pekerja di bulan Mei yang merosot ke level terendah dalam hampir enam tahun terakhir dan sinyal masalah ekonomi mengikis peluang peningkatan suku bunga AS pada Juni.
Terganggunya ekspektasi suku bunga Federal Reserve membuat sebagian besar mata uang global mengalami pemulihan, terutama pasar negara berkembang.
GBP mungkin satu-satunya mata uang yang masih belum terlalu kuat terhadap USD, karena semakin kencangnya indikasi memisahkan diri dari Uni Eropa menjelang referendum. The Daily Telegraph mengadakan survei terhadap sekitar 19.000 responden yang menunjukkan 69% memilih keluar.
"Walaupun ukuran sampel ini sama sekali tidak mewakili populasi Inggris Raya, namun survei ini meningkatkan kekhawatiran terjadinya Brexit. Ketidakpastian GBP sepertinya akan tetap tinggi menjelang referendum," tuturnya dalam siaran pers, Selasa (7/6/2016).