Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tingkat Pengangguran Inggris Naik, Pound Sterling Merosot

Mata uang pound sterling melemah setelah melakukan reli dalam 4 sesi perdagangan terakhir akibat perlambatan pertumbuhan upah di Inggris dan kenaikan tingkat pengangguran pertama kalinya dalam 7 bulan.
Pound sterling. /Reuters
Pound sterling. /Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Mata uang pound sterling melemah setelah melakukan reli dalam 4 sesi perdagangan terakhir akibat perlambatan pertumbuhan upah di Inggris dan kenaikan tingkat pengangguran pertama kalinya dalam 7 bulan.

Pada perdagangan Rabu (20/4) pukul 18:03 WIB menujukkan nilai tukar pound sterling (GBP) terhadap dolar AS melemah 0,11% menjadi 1,4382 per dolar AS. Angka tersebut menunjukkan sepanjang tahun berjalan GBP-USD merosot 2,46%.

Mata uang Inggris terlihat melemah dibandingkan sejumlah mata uang utama lainnya setelah publikasi sejumlah data perekonomian domestik. Kantor Statistik Nasional melansir pada Rabu (20/4) jumlah pencari pekerja bertambah 21.000 orang menjadi 1,7 juta dalam rentang waktu triwulan yang berakhir Februari 2016.

Tingkat pengangguran pertama kalinya dalam 7 bulan terakhir tersebut menunjukkan persentase 5,1% sesuai perkiraan para ekonom. Selain itu, indeks pengukur bonus bergeser dari 2,1% menurun ke 1,8% secara tahunan (y-o-y).

Di awal pekan, mata uang tersebut sempat menguat karena terjadi reli saham global dan kenaikan sesaat harga minyak mentah. Namun, potensi bearish lebih terasa.

"Pasar saham mengalami pemulihan secara mencengangkan pada Selasa, setelah apresiasi tak terduga harga minyak membangkitkan selera risiko dan keyakinan terhadap ekonomi global," tutur Research Analyst FXTM Lukman Otunuga dalam publikasinya, Rabu (20/4/2016).

Pasar Asia pun kembali bergairah karena sejumlah saham utama memasuki teritori hijau. Kebangkitan tersebut di satu sisi mengurangi permintaan terhadap mata uang safe heaven yen Jepang (JPY).

Adapun di Eropa, saham mulai pulih karena investor menimbang kemungkinan kesepakatan pembekuan level produksi OPEC pada rapat Juni nanti. Mata uang pound sterling pun berhasil menguat di tengah kebingungan pasar akibat kegagalan rapat Doha.

GBP-USD berhasil melonjak di atas level 1.4300. Akan tetapi, alasan pemulihan ini bukanlah perbaikan sentimen, melainkan disebabkan oleh momen ketidakpastian pasar. Mata uang ini seolah mendapatkan pelampung untuk bertahan.

Lukman menuturkan, walaupun GBP menguat, sentimen terhadapnya tetap sangat bearish. Pound telah jatuh tajam terhadap mata uang utama karena investor global menahan diri dengan risiko brexit, atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Referendum keputusan akan dilakukan Juni nanti.

"Kegelisahan seputar Brexit semakin menjadi dan merusak ketertarikan investor pada GBP sehingga harga mungkin akan semakin melemah di masa mendatang," ujarnya.

Gubernur Bank of England Mark Carney dalam acara Lords Economic Affairs Committee, Selasa (19/4) menuturkan keluarnya Inggris dari zona Uni Eropa akan berpengaruh terhadap perekonomian negara. Hal ini memberikan sentimen adanya kemungkinan Inggris tetap bertahan, sehingga investor melakukan aksi beli GBP.

Namun,  Lukman berpendapat, sejumlah tekanan eksternal dan internal bakal membuat GBP tetap menderita. Kusamnya faktor fundamental membuat GBP tinggal menunggu waktu sebelum terkoreksi secara teknikal. Peningkatan yang terjadi sementara dapat menjadi pantulan yang berubah untuk mengantarkan harga kembali turun menuju 1.4200.

Research and Analyst PT Monex Investindo Futures Agus Chandra menyampaikan, penguatan GBP-USD sejak Jumat (15/4) didorong oleh faktor hasil polling terhadap aksi brexit. Jumlah suara yang menolak lebih banyak dibandingkan pihak yang mendukung, sehingga investor kembali mengambil pound sterling.

Di sisi lain, pelemahan dolar AS memicu kenaikan mata uang utama lainnya. Pada Kamis (14/4) indeks USD mencapai 94,902 dan tergelincir hingga Selasa (19/4) 93,976.  

Dalam jangka panjang, sambung Agus, masih sulit menilai pergerakan pound sterling, karena cenderung tidak pasti menjelang referendum putusan brexit pada 27 Juni 2016. Adapun faktor yang menjadi sentimen utama ialah kondisi prekonomian Inggirs dan Amerika Serikat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper