Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pertumbuhan Harga Perak Berpotensi Kalahkan Emas

Kendati emas diprediksi bakal berkilau hingga akhir tahun, tetapi pertumbuhan harga perak berpotensi melampauinya akibat pengurangan produksi dalam jumlah besar.

Bisnis.com, JAKARTA--Kendati emas diprediksi bakal berkilau hingga akhir tahun, tetapi pertumbuhan harga perak berpotensi melampauinya akibat pengurangan produksi dalam jumlah besar.

Pada perdagangan Senin (21/3) pukul 20:00 WIB harga emas Gold spot terkoreksi 11,68 poin atau 0,93% menjadi US$1.234,72 per troy ounce. Sementara perak Silver spot menurun 0,04 poin atau 0,25% menuju U$15.76 per troy ounce.

Research and Analyst Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar menuturkan, dalam waktu dekat sentimen yang mengoreksi harga emas dan perak ialah penguatan dolar AS setelah Federal Open Market Committee (FOMC) pekan lalu.

Meskipun demikian, harga kedua logam mulia tersebut tetap akan cerah hingga akhir tahun. Salah satu faktornya ialah The Fed yang tidak jadi menaikkan suku bunga sebanyak empat kali seperti yang direncanakan sebelumnya.

Menurutnya, dengan kondisi global yang belum terlalu pulih dan volatilitas harga minyak, besar kemungkinan Fed Fund Rate (FFR) baru naik di akhir 2016 seperti tahun lalu. Di sisi lain, tentunya investor tetap akan memburu logam mulia sebagai aset yang dianggap aman.

Hingga akhir 2016, emas berpotensi mencapai level US$1.300-an per troy ounce. Pada 2015, komoditas tersebut sempat mencapai titik tertinggi di US$1.290-an, tetapi hanya mencapai posisi US$1.060 di akhir tahun.

Deddy menyebutkan, walaupun nilainya semakin berkilau, pertumbuhan harga emas bisa kalah dari perak. Pasalnya, dalam dua tahun ke depan produksi perak bakal dipangkas.

"Tahun ini produksi dipangkas 9% dan berlanjut tahun depan. Artinya, pergerakan harga perak hingga 2017 bakal positif," tuturnya kepada Bisnis.com, Senin (21/3/2016).

Sepanjang tahun berjalan 2016, emas berhasil menanjak 18%. Kendati demikian, harga kembali terperosok dalam tiga sesi perdagangan secara berturut-turut. Analis Fat Prophets di Sydney David Lennox menuturkan, penurunan logam mulia terjadi karena penguatan dolar AS.

"Hasil pertemuan FOMC menandakan suku bunga tidak akan naik terlalu cepat, sehingga dolar mulai mengalami kestabilan," tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg.

Meski terkoreksi, investor tetap menambah portofolio aset batu kuning mereka. Menurut data yang dikumpulkan Bloomberg, kepemilikan emas di exchange-traded funds (ETF) naik 21,4 ton menjadi 1.763,1 ton pada Jumat (18/3). Angka tersebut mencapai level tertinggi sejak Maret 2014 dan memperlihatkan peningkatan terbesar dalam hampir sebulan.

Sementara itu, Bloomberg mencatat dalam beberapa periode, kenaikan harga perak memang lebih tinggi dibandingkan emas. Fenomena tersebut terjadi pada periode 1995-1997, pertengahan 2003-2006, dan akhir 2008-awal 2011.

Sekitar dua per tiga perak di dunia merupakan hasil produksi sampingan dari komoditas logam lainnya. Ketika permintaan China melemah, sejumlah perusahaan pun memotong penambangan tembaga, seng, timah, dan logam lainnya yang berimbas pada perak.

Societe Generale SA dan Standard Chartered Plc melansir produksi perak akan turun pertama kalinya pada tahun ini sejak lebih dari satu dekade terakhir, sehingga berpotensi menguatkan harga.

Pasokan perak akan turun 9,2% pada 2016 dan 13% pada 2017 dibandingkan tingkat produksi tahun lalu. Artinya, jumlah pasokan tahun depan akan berkisar 23.600 ton.

Head of Commodity Strategy  Saxo Bank A/S di Kopenhagen Ole Hansen mengatakan, pemotongan penambangan logam tahun ini akan sangat berpengaruh terhadap perak. "Ini akan memberikan perak perhatian yang telah lama tertunda," tandasnya.

Sepanjang tahun berjalan, harga sudah meningkat sekitar 14% atau sekitar US$16 ons setelah terkoreksi dalam tiga tahun ke belakang. Namun, perak menjadi logam mulia yang sangat volatil dengan pergerakan harga yang 'liar'.

Dua faktor utama yang menyebabkan volatil ialah jumlah banyaknya stok perak di tengah situasi krisis dan tingkat permintaan yang berkaitan dengan siklus ekonomi. Logam tersebut mencapai puncaknya, yakni di level US$50 per ons pada 2011.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper