Bisnis.com, JAKARTA—Dari 28 negara, Indonesia dan India dinilai sebagai negara tujuan investor global yang ingin menanamkan modal pada aset yang diproyeksi dapat memberikan tingkat imbal hasil (return) yang berkesinambungan.
Kombinasi perkembangan ekonomi global dan domestik menjadikan Indonesia semakin menarik bagi investor global.
Kepala Riset KDB Daewoo Securities Indonesia Taye Shim menuturkan setidaknya ada tiga faktor yang membuat Indonesia semakin menarik.
Pertama, prospek ekonomi Indonesia yang diproyeksi meningkat ke level 5,1% dan 5,2% pada 2016 dan 2017.
Kedua, pemerintah Indonesia mendorong perbaikan iklim investasi melalui 10 paket ekonomi ditambah kebijakan tax amnesty yang akan segera dibahas bersama dengan parlemen.
"Ketiga, penerapan suku bunga negatif oleh sejumlah negara membuat aset Indonesia menjadi semakin menarik dengan tingkat interest rate yang relatif lebih tinggi," tutur Shim, Kamis (17/3/2016).
Hingga Maret 2016, lima bank sentral dunia telah menerapkan suku bunga negatif, yakni Swiss dengan -0,75%, Denmark -0,65%, European Central Bank -0,4%, Swedia -0,35%, dan Jepang -0,1%. Selain itu, diproyeksi semakin banyak bank sentral yang akan menerapkan negative interest rate policy (NIRP).
Dari 28 negara, Shim menilai Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang unggul jika dilihat dari kombinasi pertumbuhan ekonomi dan tingkat suku bunga acuan. Indonesia menjadi satu dari sedikit negara di dunia yang menawarkan yield tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang terakselerasi.
"Investor global akan melihat Indonesia dan India. Suku bunga acuan di Brasil, Argentina, Rusia tinggi sekali, tetapi pertumbuhan ekonominya negatif," paparnya.
Indikator positif Indonesia juga didukung oleh menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Penguatan rupiah sebesar 5,17% year to date sekaligus mematahkan kekhawatiran capital outflow akibat pemangkasan BI Rate sebesar 25 basis poin ke level 6,75%. \
KDB Daewoo memproyeksi indeks harga saham gabungan akan bergerak pada level 4.613-5.353 poin pada 2016. Proyeksi tersebut sejalan dengan asumsi P/B 2,3 kali hingga 2,7 kali pada skenario bullish.
"Dengan perkembangan eksternal dan internal yang positif, kami melihat peluang IHSG mengalami skenario bearish dengan P/B 2,0 kali sangat kecil," tuturnya.
Proyeksi IHSG itu, mendorong emiten Indonesia membukukan dividen yield dan dividend pay out ratio yang relatif tinggi. "Di Korea susah mencari emiten yang payout ratio-nya di atas 20%, sehingga korporasi di Indonesia menjadi atraktif," ujarnya.
Sebagai perusahaan efek yang berasal dari Korea Selatan, KDB Daewoo menangkap minat investor asal negeri Ginseng terhadap aset di Indonesia. "Kemarin ada asset management dari Korsel yang roadshow ke Indonesia. Indonesia jadi top list," imbuhnya.
STABILITAS EKONOMI
Pada kesempatan terpisah, Presiden Direktur Eastspring Investment Management Riki Frindos menyebut tahun ini sebagai tahun pemulihan ekonomi Indonesia. Pemulihan ditopang oleh stabilitas makro ekonomi, inflasi di bawah 5%, dan nilai tukar rupiah yang menguat.
"Pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2015 kan sudah naik 5,04%. Itu jadi titik balik pemulihan ekonomi," kata Riki.
Indikator makroekonomi yang positif turut membawa gairah terhadap investasi di pasar modal. Eastspring Investment Management memproyeksi pertumbuhan pendapatan korporasi naik 11% pada 2016 dan 16% pada 2017.
Pertumbuhan corporate earnings itu merupakan yang tertinggi sejak 2012 yang melorot dari 22% pada 2011 menjadi 8%. Sejak itu, pertumbuhan pendapatan korporasi melandai pada level 4% pada 2013 dan 2014, serta anjlok ke level -11% pada 2015.
Secara valuasi, price to earnings ratio 15 kali dan price to book value pasar saham Indonesia sebesar 2,5 kali juga dinilai atraktif dibandingkan dengan pasar lain di kawasan.
"Saat ini pasar bisa dikatakan murah. Dalam jangka pendek dan menengah, prospek untuk menghasilkan laba diperkirakan membaik," ujar Riki.
Tak hanya prospektif di pasar saham, pasar obligasi Indonesia juga diproyeksi menarik bagi investor asing. Daya tarik tercermin dari tingkat yield obligasi negara tenor 10 tahun sebesar 7,8% dan spread 500-600 basis poin dari surat berharga pemerintah AS.
Hingga 11 Maret 2016, investor asing membukukan aksi beli bersih di pasar saham senilai Rp3,76 triliun dengan pembelian Rp122,1 triliun. Di pasar obligasi negara, investor asing menambah kepemilikan Rp37,76 triliun sepanjang tahun berjalan menjadi Rp596,28 triliun (38,38%) hingga 16 Maret 2016.