Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Emiten Farmasi Tanggapi Positif Kepemilikan Asing 100%

Emiten farmasi menyambut positif langkah pemerintah yang akan mengeluarkan peraturan terkait batas kepemilikan asing pada industri obat menjadi 100%. Hal itu diharapkan dapat mendongkrak kinerja secara jangka panjang
Direktur Utama Kimia Farma Rusdi Rosman /Bisnis.com
Direktur Utama Kimia Farma Rusdi Rosman /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA—Emiten farmasi menyambut positif langkah pemerintah yang akan mengeluarkan peraturan terkait batas kepemilikan asing pada industri obat menjadi 100%. Hal itu diharapkan dapat mendongkrak kinerja secara jangka panjang.

Rusdi Rosman, Direktur Utama PT Kimia Farma Persero Tbk. mengatakan, pihaknya sangat siap dengan kehadiran regulasi tersebut. Hal itu akan mempercepat penetrasi pasar terlebih jika perusahaan lokal bekerjasama dengan investor asing mengingat potensi pertumbuhan sektor farmasi yang sangat besar.      

“Konsumsi obat perkapita di Indonesia terendah di Asean hanya 2,3% dari GDP. Padahal potensi pertumbuhan sangat besar dengan penduduk sekitar 250 juta dan kesadaran berobat mulai membaik seiring adanya BPJS dan Kartu Indonesia Sehat,” katanya, Kamis (28/1/2016).

Dia mengatakan, pihaknya tidak khawatir jika harus bersaing dengan perusahaan asing. Dia menyebut, ada perusahaan obat asing yang sudah gulung tikar karena pabrikan lokal tersokong program BPJS yang menggunakan obat generik. Sebabnya, portofolio emiten berkode KAEF itu 60% adalah  generik.

Bahkan KAEF sudah menggandeng perusahaan asal Korea Selatan yaitu PT Sungwun Pharmakopia Indonesia membentuk perusahaan patungan bernama PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia. Modal dasar perusahaan patungan itu mencapai Rp110 miliar dengan modal disetor Rp27,5 miliar.

Kepemilikan KAEF di perusahaan tersebut sebesar 75% dan sisanya milik Sungwun Pharmakopia. Sehingga KAEF menyetor modal sekitar Rp 20,6 miliar. Perusahaan itu bergerak di bidang industri kimia, bahan baku obat active pharmaceutical ingredient dan high functional chemical. Dengan kerjasama itu KAEF memiliki jaminan ketersediaan bahan baku.

Rusdi menambahkan, sebenarnya ada banyak perusahaan asing yang ingin merajut kerjasama dengan KAEF baik dari China maupun India. Akan tetapi gagal seleksi. Pihaknya lebih memilih perusahaan asal Negeri Ginseng karena meraka memiliki pasar di Amerika Serikat dan Jepang 

“Sehingga bahan baku obat kita kalau tidak terserap di Indonesia, dia bisa bantu jual ke Amerika dan Jepang,” ukjarnya.

Vidjongtius, Sekretaris Perusahaan dan Direktur Keuangan PT Kalbe Farma Tbk. pun menyebut pihaknya menyambut baik langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, pemerintah harus memfokuskan hal itu pada industri hulu, karena 90% hingga 95% bahan baku farmasi masih harus didatangkan dari luar negeri.

“Ini bisa mempercepat pembangunan farmasi karena dampaknya akan sangat baik tapi harus di hulu agar perusahaan lokal tetap bertahan,” katanya kepada Bisnis.com belum lama ini.

Menurut dia, kelak hal itu akan memangkas ongkos produksi. Menilik laporan keuangan emiten berkode KLBF tersebut, pada periode Januari-September 2015 total beban produksi mencapai Rp3,55 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp2,58 triliun dianggarkan untuk keperluan belanja bahan baku dan kemasan yang digunakan.

Dia pun menyebut, bukan tidak mustahil pihaknya menggandeng perusahaan asing untuk merajut kerjasama penanaman investasi di industry hulu farmasi. Akan tetapi dia masih enggan mengatakan apakah sudah ada perusahaan asing yang ingin berinvestasi bersama KLBF.

Yasser Arafat, Sekretaris Perusahaan PT Indofarma Tbk. mengatakan kepada Bisnis, pihaknya akan menyikapi hal itu secara bijak. Pasalnya, aturan tersebut bisa menjadi peluang maupun ancaman bagi emiten berkode INAF tersebut.

“Peluanngnya kita dapat mengembangkan kerjasama pembuatan obat di Indonesia, ancamannya menjadi pesaing baru,” ujarnya.

Meski demikian dia menyebut peluangnya akan lebih besar bagi INAF karena perusahaan asing akan lebih mudah bergerak di dalam negeri jika memiliki rekanan lokal. Senada dengan Vidjongtius, Yasser mengatakan investasi asing tersebut harus menyasar industri hulu karena terkait sebagian besar bahan baku yang masih harus diimpor.

Merujuk laporan keuangan INAF pada sembilan bulan di tahun lalu, anggaran yang digelontorkan untuk biaya produksi mencapai Rp241,7 miliar. Dari jumlah tersebut, onkos bahan baku yang digunakan mencapai Rp143,4 miliar.

Yasser menambahkan, ke depan jika perusahaan lokal dan asing dapat bekerjasama, akan membuat akses terhadap obat menjadi lebih murah dan mudah karena diproduksi di dalam negeri. Dia mencontohkan, obat-obat baru macam obat kanker dan hepatitis saat ini sangat mahal karena harus diimpor dalam bentuk utuh.  

Terkait perusahaan asing yang berminat membuka kerjasama dia menyebut sudah ada pabrikan luar negeri yang bertanya terkait profil perusahaan. Akan tetapi dia masih enggan menyebut gambling perusahaan maupun asal negaranya.

Alfred Nainggolan, analis PT Koneksi Capital, mengatakan diperbolehkannya perusahaan asing menguasai 100% kepemilikan atas industri farmasi memberikan sentimen positif pada pergerakan saham emiten obat. Sebabnya, hal tersebut membuat investor tertarik karena kinerja yang diproyeksikan lebih baik secara jangka panjang.  

Dari data Bloomberg, INAF, KAEF, dan KLBF mengalami return positif secara year to date dengan besaran Indofarma 57,74%, KLBF 3,79% dan KAEF 25,29%. Pergerakan positif pun menurutnya tak terlepas dari stabilnya nilai tukar rupiah dibandingkan dengan tahun lalu yang terus berfluktuatif.

“Karena sebagian besar bahan baku masih impor. Rupiah memang terdepresiasi cukup dalam jika dibandingkan tahun lalu namun saat ini cenderung stabil,” terangnya.

Meski demikian, dia menyebut harga saham emiten farmasi saat ini tak terlalu baik jika dibandingkan tahun lalu. Pada perdagangan kemarin (28/1/2016), range harga saham INAF Rp252-Rp269 per lembar saham. Pada tahun lalu harga tertinggi saham INAF mencapai Rp329 per lembar saham.

Begitu pula dengan harga saham KLBF, yang range-nya pada perdagangan kemarin Rp1.345-Rp1.375. Pada tahun lalu harga tertingginya mencapai Rp1.885 per lembar saham. Sedangkan range harga saham KAEF pada perdagangan kemarin Rp1.055-Rp1.125,dan harga tertinggi tahun lalu Rp1.425 per lembar saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper