Bisnis.com, JAKARTA - Langkah pemerintah yang akan mengeluarkan regulasi pelonggaran batas kepemilikan asing pada industri obat menjadi 100% disikapi positif oleh emiten di sektor tersebut.
Hal ini salah satunya diungkapkan oleh Rusdi Rosman, Direktur Utama PT Kimia Farma Persero Tbk. Pihaknya mengaku sangat siap dengan kehadiran regulasi tersebut.
Menurutnya, kehadiran beleid itu akan mempercepat penetrasi pasar terlebih jika perusahaan lokal bekerja sama dengan investor asing, mengingat potensi pertumbuhan sektor farmasi yang sangat besar.
“Konsumsi obat per kapita di Indonesia terendah di Asean hanya 2,3% dari GDP. Padahal potensi pertumbuhan sangat besar dengan penduduk sekitar 250 juta dan kesadaran berobat mulai membaik seiring adanya BPJS dan Kartu Indonesia Sehat,” katanya, Kamis (28/1).
Dia mengatakan tidak khawatir jika harus bersaing dengan perusahaan asing. Dia menyebut, ada perusahaan obat asing yang sudah gulung tikar karena pabrikan lokal tersokong program BPJS yang menggunakan obat generik. Sebagai gambaran, portofolio produk emiten berkode KAEF itu 60% adalah obat generik.
Bagi KAEF, asing tidak harus dianggap sebagai lawan. Perseroan sudah menggandeng perusahaan asal Korea Selatan yaitu PT Sungwun Pharmakopia Indonesia membentuk perusahaan patungan bernama PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia.
Modal dasar perusahaan patungan itu mencapai Rp110 miliar dengan modal disetor Rp27,5 miliar. Kepemilikan KAEF di perusahaan patungan tersebut sebesar 75% dan sisanya milik Sungwun Pharmakopia.
Perusahaan itu bergerak di bidang industri kimia, bahan baku obat active pharmaceutical ingredient dan high functional chemical. Dengan kerja sama itu KAEF memiliki jaminan ketersediaan bahan baku.
Rusdi menambahkan sebenarnya banyak perusahaan asing yang ingin merajut kerja sama dengan KAEF baik dari China maupun India. Namun, sebagian besar dari mereka gagal saat diseleksi.
Pihaknya lebih memilih perusahaan asal Negeri Ginseng karena mereka memiliki pasar di Amerika Serikat dan Jepang. “Sehingga bahan baku obat kita kalau tidak terserap di Indonesia, dia bisa bantu jual ke Amerika dan Jepang,” ujarnya.
Vidjongtius, Sekretaris Perusahaan dan Direktur Keuangan PT Kalbe Farma Tbk., pun menyebut pihaknya menyambut baik langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, pemerintah harus memfokuskan hal itu pada industri hulu, karena 90% hingga 95% bahan baku farmasi masih harus didatangkan dari luar negeri.
“Ini bisa mempercepat pembangunan farmasi karena dampaknya akan sangat baik tapi harus di hulu agar perusahaan lokal tetap bertahan,” katanya kepada Bisnis.com belum lama ini.
Menurut dia, kelak hal itu akan memangkas ongkos produksi. Menilik laporan keuangan emiten berkode KLBF tersebut, pada periode Januari-September 2015, total beban produksi mencapai Rp3,55 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp2,58 triliun dianggarkan untuk keperluan belanja bahan baku dan kemasan.
Bukan tidak mustahil pihaknya menggandeng perusahaan asing untuk merajut kerja sama penanaman investasi di industri hulu farmasi. Namun, dia masih enggan mengatakan apakah sudah ada perusahaan asing yang ingin berinvestasi bersama KLBF.
ANCAMAN
Dalam kesempatan berbeda Yasser Arafat, Sekretaris Perusahaan PT Indofarma Tbk., mengatakan pihaknya akan menyikapi hal itu secara bijak. Pasalnya, aturan tersebut bisa menjadi peluang maupun ancaman bagi emiten berkode INAF tersebut.
“Peluangnya kita dapat mengembangkan kerja sama pembuatan obat di Indonesia, ancamannya menjadi pesaing baru,” ujarnya.
Menurutnya, regulasi berpeluang lebih besar memberikan sentimen positif bagi INAF karena perusahaan asing akan lebih mudah bergerak di dalam negeri jika memiliki rekanan lokal.
Senada dengan Vidjongtius, Yasser mengatakan investasi asing tersebut harus menyasar industri hulu karena terkait sebagian besar bahan baku yang masih harus diimpor.
Merujuk laporan keuangan INAF pada per 30 September 2015, anggaran yang digelontorkan untuk biaya produksi mencapai Rp241,7 miliar. Dari jumlah tersebut, ongkos bahan baku mencapai Rp143,4 miliar.
Yasser menambahkan ke depan jika perusahaan lokal dan asing dapat bekerja sama, maka akan membuat akses terhadap obat menjadi lebih murah dan mudah karena diproduksi di dalam negeri. Dia mencontohkan, obat-obat baru seperti obat kanker dan hepatitis saat ini sangat mahal karena harus diimpor dalam bentuk utuh.
Terkait perusahaan asing yang berminat membuka kerja sama, dia menyebut sudah ada pabrikan luar negeri yang bertanya terkait profil perusahaan. Namun, dia masih enggan memberikan informasi lebih detail terkait hal tersebut.
Alfred Nainggolan, analis PT Koneksi Capital, mengatakan diperbolehkannya perusahaan asing menguasai 100% kepemilikan atas industri farmasi memberikan sentimen positif pada pergerakan saham emiten obat.
Hal tersebut membuat investor tertarik karena kinerja yang diproyeksikan lebih baik secara jangka panjang. Mengacu data Bloomberg, saham INAF, KAEF, dan KLBF memberikan return positif secara year-to-date masing-masing 57,74%, 25,29%, dan 3,79%.
Pergerakan positif pun menurutnya tak terlepas dari stabilnya nilai tukar rupiah. “Karena sebagian besar bahan baku masih impor. Rupiah memang terdepresiasi cukup dalam jika dibandingkan tahun lalu namun saat ini cenderung stabil,” terangnya.