Bisnis.com, JAKARTA— Imbal hasil surat utang negara diprediksi akan terus merangkak naik hingga akhir tahun didorong oleh sejumlah oleh faktor eksternal. Adapun, surat utang jangka pendek memiliki risiko kenaikan paling tinggi.
Berdasarkan data kurva imbal hasil Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), imbal hasil surat utang negara (SUN) menunjukkan pola bearish. Pada penutupan perdagangan Senin (5/10), SUN dengan tenor acuan mencatatkan yield 9,13% atau turun dari hari sebelumnya yang mencapai 9,39%. Penurunan yield didorong oleh penguatan nilai tukar rupiah.
Namun bila dilihat secara bulanan, rata-rata yield SUN tenor pendek (1 tahun-4 tahun) naik 105,0 bps dari level 8,1535% pada Agustus ke level 9,2034% pada September.
Kemudian, SUN tenor menengah (5 tahun-7 tahun) naik 96,0 bps dari level 8,7251% ke level 9,68854% pada periode yang sama. Sementara, SUN tenor panjang (8 tahun-30 tahun) naik 63,8 bps dari level 9,2701% ke level 9,9084% pada September 2015.
Wahyu Trenggono, Direktur IBPA mengatakan kondisi pasar obligasi Indonesia mengalami tekanan pada September ini. Depresiasi mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat masih memberikan pengaruh yang cukup kuat pada pasar obligasi domestik. Selain itu, keputusan The Fed menunda kenaikan suku bunga The Fed juga berdampak pada kinerja pasar obligasi.
“Selain itu, ada faktor perlambatan ekonomi China yang menghantui. Memang lebih didominasi oleh faktor eksternal,” kata Wahyu dalam acara monthly bond market IBPA di Jakarta, Senin (5/10).
Dia memprediksi, yield SUN masih akan terus naik hingga akhir tahun seiring masih akan melekatnya pengaruh eksternal tersebut. Wahyu mengatakan, risiko paling tinggi tetap akan terjadi pada SUN dengan tenor pendek. Hal ini sudah terlihat dari kenaikan rata-rata yield tenor pendek yang mengalami kenaikan paling tinggi.
“Kami tidak boleh memprediksi, tapi memang berpotensi terus naik. Ya tentunya, SUN tenor pendek memang memiliki risiko lebih besar. Investor yang baru masuk tahun lalu kemudian keluar sekarang, ya tentu rugi,” jelasnya.
Apalagi, sejumlah sentimen positif domestik tidak bisa mempengaruhi perbaikan pada kinerja SUN. Menurutnya, setelah paket kebijakan ekonomi jilid I dikeluarkan pemerintah, pasar tetap bersikap wait and see atas kebijakan tersebut. Pasar terlihat lebih focus pada keputusan suku bunga The Fed.
Sementara, ketika paket II dicetuskan, pergerakan yield hanya berdampak sedikit. Tekanan sedikit mereda tercermin dari kenaikan yield 1,6 bps pada 30 September 2015. “Pasar masih wait and see juga. Memang ada yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, biasanya kalau ada sentiment positif dari dalam negeri, psar akan merespon,” jelasnya.
Pada sisi lain, Wahyu menilai asing tidak begitu saja keluar dari SUN dengan tenor panjang. Lantaran menawarkan yield yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lainnya, asing tidak akan begitu saja melepas kepemilikannya di SUN.
Data IBPA menunjukkan, asing masih dalam posisi net buy di SUN sekitar Rp63,11 triliun sepanjang tahun berjalan ini. Namun, bila dilihat secara kuartalan, asing tercatat net sell sepanjang kuartal III dengan nilai Rp13,07 triliun. Sedangkan pada kuartal I dan II asing mencatatkan net buy sekitar Rp42,72 triliun dan Rp33,45 triliun.