Bisnis.com, JAKARTA--Setelah lama menggantung dan menjadi bola liar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengumumkan perombakan (reshuffle) Kabinet Kerja, Rabu (12/8/2015). Hasilnya pun, sebagian besar adalah muka lama.
Dari lima menteri yang diganti, tiga di antaranya berasal dari tim ekonomi yaitu Menko Perekonomian Sofyan Djalil yang diganti Darmin Nasution, Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinov Chaniago yang diganti Sofyan Djalil, dan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel yang diganti Thomas Lembong.
Di bidang maritim, Jokowi mengganti Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo dengan Rizal Ramli. Di bidang polhukam, posisi Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdjiatno digantikan Luhut Binsar Pandjaitan. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto juga terkena reshuffle di mana Pramono Anung ditunjuk sebagai penggantinya.
Reshuffle kabinet khususnya bidang ekonomi awalnya digadang-gadang bisa membangkitkan optimisme pasar yang sejak April mengalami turbulensi.
Ketika itu, mayoritas ekonom, analis, dan pelaku pasar memiliki kesamaan pandangan bahwa kondisi pasar modal akan membaik jika Jokowi benar-benar merealisasikan pergantian jajaran tim ekonominya sesuai dengan tuntutan banyak pihak.
Tuntutan itu datang lantaran kinerja sekuad Kabinet Kerja, khususnya tim ekonomi, dinilai tak mampu mengakhiri laju perlambatan pertumbuhan ekonomi Tanah Air.
Di tengah gempuran sentimen negatif dari luar negeri, perlambatan ekonomi, dan mengecewakannya kinerja emiten, reshuffle kabinet diyakini dapat menumbuhkan kepercayaan dan optimisme baru di kalangan pelaku pasar.
Namun, kenyataannya pergantian tiga orang menteri di bidang ekonomi yang diumumkan oleh Presiden Jokowi kemarin siang, tak mampu menyelamatkan koreksi tajam bursa saham.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) justru mencatatkan penurunan tertajam dibandingkan dengan indeks regional Asia Pasifik. IHSG terkoreksi hingga 3,1% ke level 4.479 atau level terendah sepanjang tahun ini dan lebih buruk dari sehari sebelumnya.
Gelombang aksi jual (net sell) pemodal asing pun malah meningkat menjadi Rp763,8 miliar dari sehari sebelumnya yang hanya Rp584,6 miliar. Masifnya, aksi net sell tersebut membuat nilai net buy yang dibukukan asing sepanjang tahun berjalan ini kian terkikis menjadi hanya Rp1,51 triliun. Padahal, net buy asing ini sempat menyentuh angka Rp19,55 triliun pada 21 April.
Padahal, sehari sebelumnya dalam pidato peringatan ulang tahun ke-38 diaktifkannya kembali pasar modal di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jokowi mengajak seluruh pelaku pasar untuk optimistis bahwa ekonomi akan membaik pada semester II/2015.
“Semua akan membaik. Percayalah, ini saya [Presiden RI] yang ngomong masa enggak percaya. Saya sudah tanya menteri semua satu per satu,” tegas Jokowi.
Sepertinya kini pasar tak lagi mudah percaya dengan janji-janji yang ditebar Jokowi. Terbukti, optimisme yang ditularkan Jokowi kepada pelaku pasar tak mampu mengangkat IHSG ke zona hijau. Pada perdagangan Selasa (11/8), IHSG justru ditutup merosot 2,66%, mengikuti tren koreksi global akibat dampak kebijakan devaluasi yuan.
Dan kemarin, pengumuman reshuffle kabinet yang sepertinya ditujukan untuk memberikan sentimen positif terhadap pasar, kembali direspons dingin oleh pasar.
Kondisi tersebut sangat berbeda 180 derajat dengan kondisi pada saat mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengumumkan pencalonan diri sebagai calon presiden RI ke-7 hingga masa awal-awal pemerintahannya.
Dalam periode itu, Jokowi effect selalu berhasil mengangkat bursa saham hingga menyentuh level tertingginya 5.523 pada 7 April 2015.
Seakan tak mau terlena dengan janji-janji pemerintahan Jokowi, kini pasar cenderung bersikap realistis. Pasar tak lagi mudah percaya dengan segala sesuatu yang masih menjadi wacana pemerintah. Yang dibutuhkan pasar saat ini adalah bukti Pak Presiden.