Bisnis.com, JAKARTA--Setelah tujuh tahun berlalu, pasar modal Indonesia kembali dikejutkan dengan penerbitan saham baru bernilai jumbo. Emiten rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. melakukan aksi rights issue dengan nilai Rp26,7 triliun.
Emiten berkode saham HMSP itu menjadi penerbit terbesar kedua sepanjang sejarah setelah PT Bakrie & Brothers Tbk. Pada 31 Maret 2008 silam, BNBR mencatatkan saham baru hasil rights issue dengan nilai Rp40,12 triliun.
Analis Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe menilai pembeli rights issue HMSP telah ditentukan sebelumnya. Pasalnya, rights issue HMSP hanyalah untuk memenuhi ketentuan free float yang disyaratkan oleh BEI maksimum pada Januari 2016.
"HMSP harganya ditahan tidak boleh kurang dari Rp63.000 per lembar. Kemungkinan sudah diberikan jatah bagi sekuritas-sekuritas," katanya saat dihubungi Bisnis.com.
Menurutnya, investor publik lebih memilih untuk membeli di pasar reguler karena akan lebih murah dari harga yang dipatok perseroan. Pastinya, investor akan tetap menyerap rights issue HMSP lantaran secara fundamental, emiten rokok itu terbilang cukup baik.
Penawaran umum terbatas (PUT) I dilakukan dengan penerbitan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Rights Issue yang ditempuh oleh HM Sampoerna itu ditujukan untuk memenuhi ketentuan porsi saham publik atau free float minimum 7,5%.
Terbilang, manajamen HMSP menjadi emiten paling getol memenuhi ketentuan pasar modal itu. Tito Sulistio, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), mengatakan pihaknya sudah bertemu dengan manajemen HM Sampoerna.
"Kami sudah bertemu dan Sampoerna sudah berkomitmen. Tinggal tunggu proses dan waktunya. Untuk mengikuti aturan berlaku ada berbagai cara, seperti rights issue," kata Tito belum lama ini.
HM Sampoerna menerbitkan 269,72 juta saham baru bernilai Rp100 per lembar. Ketentuannya, setiap pemegang 65 saham lama HMSP akan berhak atas 4 HMETD.
Setiap 1 HMETD memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli sebanyak 1 saham baru dengan harga pelaksanaan antara Rp63.000-Rp99.000 setiap lembar saham.
Hal itu tertuang dalam prospektur ringkas yang dirilis perseroan, Rabu (12/8/2015). HM Sampoerna bakal menggunakan dana hasil rights issue untuk keperluan perseroan secara umum, serta untuk modal kerja, termasuk pembayaran sebagian fasilitas pinjaman modal kerja.
Total pinjaman jangka pendek pihak ketiga HMSP hingga paruh pertama tahun ini mencapai Rp1,57 triliun dengan pihak berelasi Rp2,32 triliun. Secara keseluruhan, liabilitas perseroan mencapai Rp14,42 triliun.
Akan tetapi, apabila PT Philip Morris Indonesia (PMID), selaku pemegang saham pengendali, tidak melaksanakan seluruh haknya dalam PUT I, maka sisanya akan dialokasikan kepada pemegang HMETD lainnya. Pemegang saham lama yang tidak menyerap rights issue akan terdilusi maksimum 5,8%.
Saat ini, pemegang saham HM Sampoerna terdiri dari PMID sebesar 98,18% dan publik hanya menggenggam 1,82%. Bila Philip Morris menyerap, maka struktur kepemilikan saham tidak akan mengalami perubahan.
Perseroan menunjuk PT Sirca Datapro Perdana sebagai pelaksana pengelola administrasi saham dan sebagai agen pelaksana PUT tersebut.
Rencananya, permohonan pencatatan saham tambahan HMETD akan dilakukan pada 17 September 2015. RUPSLB terkait HMETD ini akan digelar pada 18 September 2015.
HM Sampoerna tercatat sebagai salah satu emiten penerbit rights issue tertinggi sepanjang sejarah. Secara berturut-turut penerbit terbesar a.l PT Bakrie & Brothers Tbk. senilai Rp40,12 triliun pada 2008, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. senilai Rp11,68 triliun pada 2011, PT BW Plantations Tbk. (BWPT) senilai Rp10,8 triliun pada 2014.
Pada tahun ini, HMSP menjadi emisi rights issue terbesar. Sebelumnya, PT Rimo International Lestari Tbk. (RIMO) juga menerbitkan saham baru bernilai jumbo mencapai Rp8,1 triliun.
Kemarin, harga saham HMSP melorot Rp2.200 atau 2,26% ke level Rp80.500 per lembar dari sebelumnya Rp82.700 per lembar. Sepanjang hari kemarin, saham HMSP bergerak pada level Rp80.050-Rp82.700 dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp352,83 triliun.
Berikut data rights issue jumbo sepanjang sejarah pasar modal:
Ticker | Jumlah Saham* | Harga Saham** | Total Dana** | Tanggal Pencatatan |
BBNI | 1,992.00 | 2,025.00 | 4,034.00 | 9 Agustus 2007 |
BRPT | 4,362.00 | 2,100.00 | 9,161.00 | 28 November 2007 |
BNBR | 80,237.00 | 500.00 | 40,118.00 | 31 Maret 2008 |
ENRG | 26,183.00 | 185.00 | 4,843.00 | 13 Januari 2010 |
UNSP | 9,455.00 | 525.00 | 4,963.00 | 12 Februari 2010 |
BMRI | 2,337.00 | 5,000.00 | 11,684.00 | 10 Februari 2011 |
UNTR | 403.00 | 15,050.00 | 6,069.00 | 12 Mei 2011 |
BDMN | 1,162.00 | 4,300.00 | 4,997.00 | 12 September 2011 |
MYRX | 8,363.00 | 550.00 | 4,599.00 | 5 Desember 2013 |
BWPT | 27,022.00 | 400.00 | 10,808.00 | 9 Desember 2014 |
RIMO | 30,600.00 | 265.00 | 8,109.00 | 19 Agustus 2015 |
HMSP | 269.00 | 63.000-99.000 | 26,702.00 | 5 Oktober 2015 |
Keterangan: *=juta lembar; **=Rp/lembar; ***=Rp miliar.
Sumber: PT Bursa Efek Indonesia, diolah.