Bisnis.com, JAKARTA—PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk. (TELE) disinyalir melakukan penggelembungan marjin dari bisnis penjualan voucher selular guna membuat nilai aset perseroan menjadi jauh lebih besar.
Berdasarkan sumber Bisnis yang tidak mau disebutkan namanya, hampir 90% pendapatan bisnis Tiphone berasal dari penjualan voucher, sedangkan sisanya 10% dari penjualan ponsel.
Menurutnya, Tiphone merupakan diler utama penjualan voucher Telkomsel. Kabarnya, sebagai main dealer, Tiphone mendapatkan bonus fee hanya 1,5% dan maksimal 2% dari total penjualan.
Dengan marjin tersebut, Tiphone seharusnya wajib menjual voucher sesuai harga yang sudah ditetapkan oleh Telkomsel, sehingga tidak ada kesempatan bagi Tiphone untuk mendapatkan marjin keuntungan tambahan di luar bonus fee yang diberikan oleh Telkomsel.
Jika Tiphone kedapatan menjual harga voucher di atas harga yang ditetapkan Telkomsel, maka seharusnya Telkomsel memberikan surat peringatan dan teguran.
“Dari penjualan tersebut, Tiphone hanya mendapatkan marjin EBITDA sebesar 2%, sehingga tidak wajar jika dalam laporan kinerja keuangan Tiphone yang menyebutkan marjin keuntungan bersih sekitar 5%,” kata sumber itu, Rabu (6/5/2015).
Namun sayang, saat dikonfirmasi soal kebenaran kasus ini, pihak Tiphone tidak bisa dihubungi dan tidak mau menjawab.
Berdasarkan laporan keuangan 2014, Tiphone berhasil membukukan pendapatan bersih Rp14,5 triliun atau naik 39,1% dibandingkan dengan pendapatan tahun sebelumnya Rp10,4 triliun.
Perolehan itu berasal dari penjualan voucher dan kartu perdana sebesar Rp8,79 triliun, telepon seluler Rp5,42 triliun, dan komisi Rp363,62 miliar.
Alhasil, laba bersih perseroan pun naik 3,55% menjadi sebesar Rp304,87 miliar pada tahun lalu dari sebelumnya Rp294,90 miliar sepanjang 2013.
Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi mengatakan prospek bisnis penjualan voucher sangat potensial, apalagi jika dilihat dari total populasi penduduk saat ini yang mencapai 250 juta jiwa.
Tak heran jika mendorong distributor saat ini berlomba-lomba ikut menggeluti bisnis ini, bahkan hingga ke minimarket.
“Bayangkan jika dikalikan dengan kebutuhan voucher rata-rata per orang yang mencapai US$8 atau Rp80.000 per bulan,” kata Heru kepada wartawan.
Hanya saja, lanjut Heru, saat ini tidak ada peraturan dari pemerintah yang mengatur batasan penjualan eceran voucher.
Dengan demikian, banyak distributor melakukan penggelembungan marjin dari penjualan voucher. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat memberatkan konsumen.
“Harus ada aturan untuk masalah itu. Apakah ini masuk ke Menkominfo atau ranah perdagangan. Tata niaga ini harus dibereskan dan jangan sampai bisnis ini dikuasai distributor besar saja. Kalau sampai seperti itu tak heran ada pengaturan marjin di distributor,” jelasnya.