Bisnis.com, JAKARTA- Otoritas Jasa Keuangan akan mengkaji perlakuan pajak, termasuk pajak obligasi untuk meningkatkan gairah pasar obligasi di dalam negeri, khususnya obligasi korporasi.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan saat ini OJK tengah melakukan program pendalaman pasar modal.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah menginventarisasi semua perlakukan pajak dan ketentuan pajak, termasuk pajak yang berlaku pada obligasi.
Inventarisasi ini dilakukan untuk melihat apakah perlakuan pajak obligasi yang ada saat ini sudah sesuai dan bisa meningkatkan pasar obligasi atau tidak. OJK juga akan membandingkan perlakuan pajak yang ada di dalam negeri dengan yang ada di luar negeri.
Bila ternyata perlakuan pajak di Indonesia tidak bisa membuat asing tertarik masuk ke Indonesia, OJK akan mendiskusikannya dengan Ditjen Pajak untuk mencari jalan keluar. Dia menegaskan, pihaknya hanya melakukan kajian dan memberikan usulan lantaran keputusan ada pada Ditjen Pajak,
“Jadi bisa kami beri treatment kalau perpajakan di Indonesia masih tak sesuai yang pada akhirnya asing lebih tertarik masuk ke negara lain. Misalnya, apakah pajak yang dikenakan di sini lebih besar atau bagaimana,” kata Nurhaida belum lama ini.
Bukan hanya dibandingkan dengan negara lain, kata Nurhaida, OJK juga akan mengkaji pajak obligasi korporasi dan obligasi pemerintah atau surat utang negara (SUN).
Dari kaca mata investor asing, ketika menaruh dananya pada SUN, investor asing tidak dikenakan pajak. Sedangkan, bila menginvestasikan dananya pada obligasi korporasi, asing dikenakan pajak.
Hal inilah yang membuat asing banyak masuk ke pasar SUN dibandingkan dengan obligasi korporasi. “Kalau dilihat, asing lebih tertarik membeli obligasi pemerintah, kalau beli korporasi sedikit karena tidak menguntungkan mereka dari pajaknya,” tambahnya.
Oleh sebab itu, pihaknya akan melihat secara merinci dan langkah apa yang akan diambil untuk mengatasi perlakuan pajak seperti itu.
“Kami lihat lagi, apa yang bisa dilakukan, bagaimana perlakuan pajak itu sama (antara SUN dengan korporasi) sehingga obligasi korporasi menjadi menarik, mungkin ada insentif yang akan diberikan,” jelasnya.
Meski demikian, langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati. Pasalnya, hal ini terkait dengan target pajak dan anggaran pendapatan belanja negara (APBN). “Kami akan diskusikan dulu dengan Dirjen Pajak.”
Berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, pihak OJK menginginkan agar perlakuan pajak obligasi bisa disamakan. Dia menilai, perbedaan perlakuan pajak ini yang menjadi salah satu faktor sedikitnya investor asing membeli obligasi korporasi.
“Kalau beli SUN pajak sudah disatukan sepaket tinggal bersih, kalau korporasi tidak, bayar pajak lagi,”papar sumbertersebut.
Selain itu, kata dia, OJK diperkirakan juga akan mengusulkan agar investor lain, termasuk institusi seperti lembaga non-bank, asuransi dan reksa dana bisa mendapatkan perlakuan pajak yang sama.
Ekonom PT Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan ada baiknya bila pemerintah bisa me-review kembali aturan perpajakan untuk obligasi.
Dibandingkan dengan harus mengenakan pajak pada asing ketika membeli SUN, pemerintah lebih baik memberikan insentif untuk pengenaan pajak obligasi korporasi.
Dia menilai, ide awal pemerintah membebaskan pajak pada asing di SUN adalah untuk menarik minat investor. Terbukti, porsi asing di SUN saat ini cukup besar hingga 37%. Bila pemerintah mengenakan pajak pada investor asing, kemungkinan besar investor asing akan menarik dananya dari SUN.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu berhati-hati karena bisa menimbulkan capital outflow. Pada sisi lain, Indonesia sedang membutuhkan dana dari asing yang cukup besar untuk meningkatkan perekonomian.
“Maka perlu di-review ulang, akan ada implikasi asing menarik dananya. Sebenarnya, saya juga baru ngeh diberi tahu pak Rahmat Waluyanto (Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK) beberapa hari lalu kalau sejak lama asing di SUN itu bebas pajak, sedangkan beli korporasi kena pajak 20%, makanya asing banyak masuk SUN,” kata Lana kepada Bisnis, Senin (24/11/2014).
Selama ini, pengkajian perlakuan pajak hanya dibicarakan di dalam (internal pemerintah) lantaran cukup sensitif.
Menurutnya, bila pemerintah mau mengatur perlakuan pajak agar bisa menggairahkan pasar obligasi korporasi, lebih baik obligasi korporasi diberikan insentif. Saat ini untuk pasar obligasi korporasi, selain risiko tinggi, pajak juga lebih tinggi.
“Jadi non-diskriminatif lebih baik, pertimbangkan insentif. Karena, Indonesia masih butuh pendanaan dari luar. Kalau sekarang dana pensiun tidak kena pajak, kemudian reksa dana kena 5%. Kalau rencananya akan disamakan dibebaskan pajak bisa saja, tetapi benar-benar harus dibicarakan dengan Ditjen Pajak karena bisa pengaruh pada target pajak,” jelas Lana.