Bisnis.com, JAKARTA - Bursa Efek Indonesia mengkhawatirkan adanya kecenderungan emiten yang mulai marak menerbitan medium term notes dibandingkan dengan menerbitkan obligasi.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito mengatakan sepanjang tahun ini banyak emiten yang menunda penerbitan obligasi lantaran kondisi makro ekonomi dalam negeri yang fluktuatif. Dia berharap kondisi makro ekonomi dalam negeri lebih baik sehingga rencana penerbitan obligasi yang tertunda tahun ini bisa segera direalisasikan.
Namun, Ito mengkhawatirkan adanya tren kecenderungan emiten lebih tertarik menerbitkan surat utang yang bertenor pendek seperti medium term notes (MTN) dibandingkan dengan obligasi.
“Sebetulnya ada yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan target obligasi, sekarang mulai kecenderungan emiten menerbitkan MTN bukannya obligasi korporasi,” kata Ito di Gedung BEI.
Menurutnya, peralihan ini disebabkan adanya pungutan yang dibebankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam penerbitan obligasi. “Pungutannya 0,06% dari nilai penerbitan sehingga cost of fund emiten naik. Kalau menerbitkan MTN tidak ada pungutan, saya melihat trennya seperti itu sekarang,” jelasnya.
Ekonom PT Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan tren maraknya penerbitan MTN perlu diwaspadai lantaran bisa berdampak pada likuiditas. Apalagi bila MTN yang diterbitkan dalam bentuk dollar Amerika Serikat.
Menurutnya, MTN yang merupakan surat utang bertenor pendek memiliki risiko dan tekanan yang lebih tinggi. “MTN itu pendek bisa satu tahun, pasti nanti ada tekanan likuiditas. Karena terlalu pendek jadi cukup ketat,” kata Lana saat dihubungi Bisnis.com, Minggu (19/10/2014).
Pada sisi lain, dia menilai, ada kemungkinan emiten enggan menerbitkan obligasi korporasi lantaran prosesnya yang berbelit-belit dan adanya tambahan biaya. Di tengah tren imbal hasil obligasi yang terus naik, penerbitan obligasi dirasakan mahal.
Bila dibandingkan dengan imbal hasil surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun yang saat ini berada pada level 8,22%, imbal hasil obligasi korporasi akan lebih tinggi lagi. “Kalau swasta menerbitkan obligasi yang sama, imbal hasil akan lebih tinggi, kupon juga lebih tinggi dan buat perusahaan ini jadi mahal.”
Hal ini menjadikan emiten lebih memilih menerbitkan surat utang yang bertenor pendek sekitar 3 tahun-5 tahun dengan imbal hasil sekitar 5%. “Swasta memilih utang yang cost murah. Dari sisi aspek bisnis wajar, tetapi untuk otoritas mesti diwaspadai tekanan likuditas jangka pendek,” tambahnya.
Dia memperkirakan pada tahun depan emiten masih memilih menerbitkan surat utang bertenor pendek.