Bisnis.com, JAKARTA– Pasar obligasi Indonesia pada tahun depan diperkirakan masih akan tertekan akibat adanya ekspektasi kenaikan imbal hasil US Treasury dan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Yudistira Slamet, Head of Debt Research PT Danareksa Sekuritas, ekspektasi kenaikan yield US Treasury pada 2015 akibat peningkatan Fed Funds Rate masih menjadi isu utama yang berasal dari global selain krisis di Eropa.
“Sedangkan dari domestik terdapat isu kenaikan harga BBM bersubsidi yang sangat mempengaruhi yield obligasi pemerintah,” ujarnya, Sabtu (11/10/2014).
Kenaikan harga BBM bersubsidi, lanjutnya, berimplikasi pada tingginya tingkat inflasi dan pelemahan nilai tukar rupiah. Hal tersebut dapat memicu Bank Indonesia untuk meningkatkan tingkat suku bunga.
Secara tidak langsung, hal ini menyebabkan required yield yang diminta investor juga meningkat. Selain itu, ekspektasi nilai tukar rupiah yang melemah dapat mendorong adanya foreign outflow dari pasar obligasi Indonesia.
Dalam skenario pertama, paparnya, harga BBM bersubsidi diprediksi tidak mengalami peningkatan dan inflasi akhir tahun 2015 berada di level 4,92%.
Selain itu, BI Rate diperkirakan tetap pada level 7,5% hingga akhir tahun depan dan yield US Treasury mengalami peningkatan akibat kenaikan tingkat suku bunga.
“Dengan asumsi tersebut, yield curve obligasi pemerintah 10 tahun akan berkisar antara 8,45% - 8,95%,” katanya.
Adapun, dalam skenario kedua, harga BBM bersubsidi diperkirakan mengalami peningkatan bertahap setiap dua bulan sekali yang dimulai pada Maret hingga November 2015.
Inflasi pada akhir 2015 diperkirakan berada di level 7,71%, sementara BI Rate tetap di level 7,5% karena inflasi masih di bawah 8%.
Oleh karena itu, dengan skenario kedua tersebut, yield curve obligasi pemerintah bertenor 10 tahun diprediksi akan berada di level 9,5% - 10%.