Bisnis.com, JAKARTA—Investor harus lebih berhati-hati dalam menempatkan dananya pada produk reksa dana seiring dengan potensi meningkatnya jumlah produk reksa dana terbuka di kelas konvensional dan syariah yang dibubarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun ini.
Baru 2 bulan berjalan, jumlah produk yang dibubarkan otoritas telah mencapai sembilan produk atau setara 56% dari tahun lalu sebanyak 16 produk.
Berdasarkan data OJK, produk-produk reksa dana konvensional yang dibubarkan itu terdiri dari tiga reksa dana pendapatan tetap, dua reksa dana campuran, dan satu reksa dana pasar uang. Di kelas syariah, satu reksa dana campuran dan dua reksa dana saham terpaksa gulung tikar.
Perkembangan itu cukup mengkhawatirkan karena sesungguhnya tren pembubaran reksa dana cenderung melambat dalam 5 tahun terakhir.
Namun, mengingat gejala tahun ini, investor patut lebih konservatif dan berhati-hati menempatkan dananya di produk dan kelas aset yang tepat. Dari total 239 produk reksa dana bubar sepanjang 5 tahun terakhir, kelas aset pendapatan tetap menyumbang kontribusi tertinggi yakni 126 produk atau 52% dibandingkan dengan komposisi varian lainnya.
Dalam keterangannya, OJK menegaskan pembubaran reksa dana ditempuh dengan alasan total nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana kurang dari Rp25 miliar selama 90 hari bursa berturut-turut.
Selain itu, dalam jangka waktu 60 hari bursa, reksa dana yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif memiliki dana kelolaan kurang dari Rp25 miliar untuk kategori reksa dana baru. Pembubaran produk juga harus diawali melalui kesepakatan manajer investasi dan bank kustodian.
PINDAHKAN ASET
Head of Investment PT OSO Manajemen Investasi Ruben Sukatendel menjelaskan dominasi reksa dana pendapatan tetap dalam komposisi produk yang dibubarkan karena kecenderungan nasabah yang memindahkan aset investasinya pada instrumen yang berprofil risiko rendah.
Situasi tersebut, sambungnya, kerap terjadi saat pasar obligasi yang menjadi benchmark reksa dana pendapatan tetap tersungkur dalam beberapa momentummomentum tertentu. Pada 2008, misalnya, jumlah reksa dana pendapatan tetap yang dicopot dari industri mencapai 46 produk atau 68% dari total produk yang dibubarkan.
“Saya ingat dulu banyak nasabah yang ramai-ramai mendatangi kantor-kantor MI, sudah seperti demonstrasi saat itu. Harga obligasi hancur-hancuran, jelas ada ketakutan berlebihan,” katanya, seperti dilaporkan Harian Bisnis Indonesia, Rabu (12/3/2014).
Seperti diketahui, aset dasar reksa dana pendapatan tetap didominasi oleh efek surat utang pemerintah dan korporasi. Kinerja portofolionya sangat dipengaruhi pergerakan inflasi yang kemudian mengerek suku bunga acuan.
“Karena itu, kenaikan suku bunga merupakan mimpi buruk bagi reksa dana berbasis obligasi. Teorinya kan begitu, suku bunga naik, harga surat utang turun, dan imbal hasil reksa dana pasti anjlok,” tambahnya.
Menurut Ruben, gejala serupa seperti akan berulang tahun ini. Dia mengamati tidak sedikit kekhawatiran investor terhadap pergerakan inflasi yang memicu kenaikan suku bunga akibat tingkat konsumsi berlebihan dalam hajatan Pemilihan Umum 2014.
Sejumlah MI juga khawatir nasabah kembali melakukan pemindahan aset investasinya ke instrumen deposito dengan tingkat risiko yang lebih rendah. Andai suku bunga kembali naik, return pendapatan tetap sudah tidak lagi menarik. Ujung-ujungnya, dana kelolaan produk merosot dan terpaksa dibubarkan paksa OJK.