Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dolar AS Rebound, Rupiah Tergelincir

Prospek putaran terbaru diskusi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China tak mampu mempertahankan penguatan nilai tukar rupiah hingga akhir perdagangan hari ini, Kamis (13/9/2018).
Perbandingan kurs rupiah tahun 1998, 2008, dan 2018./Bisnis-Radityo Eko
Perbandingan kurs rupiah tahun 1998, 2008, dan 2018./Bisnis-Radityo Eko

Bisnis.com, JAKARTA — Prospek putaran terbaru diskusi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China tak mampu mempertahankan penguatan nilai tukar rupiah hingga akhir perdagangan hari ini, Kamis (13/9/2018).

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup terdepresiasi tipis 7 poin atau 0,05% di level Rp14.840 per dolar AS, setelah mampu berakhir rebound 24 poin atau 0,16% di posisi 14.833 pada Rabu (12/9).

Padahal, mata uang Garuda sempat memperpanjang penguatannya hingga kisaran level 14.700 setelah dibuka menguat 23 poin atau 0,16% di posisi 14.810 pagi tadi. Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak fluktuatif pada level Rp14.785 – Rp14.841 per dolar AS.

Penguatan rupiah sebelumnya didukung optimisme investor seputar prospek diskusi perdagangan antara AS dan China, setelah pemerintah AS menyampaikan undangan untuk mengadakan diskusi perdagangan terbaru.

Meski demikian rebound dolar AS menahan penguatannya lebih lanjut. Indeks dolar AS yang mengukur kekuatan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama terpantau menguat 0,10% atau 0,096 poin ke level 94,895 pada pukul 17.32 WIB.

Sebelumnya indeks dolar dibuka dengan kenaikan tipis 0,034 poin atau 0,04% di level 94,833, setelah berakhir melemah 0,47% atau 0,450 poin di posisi 94,799 pada perdagangan Rabu (12/9).

“Saat sikap hati-hati tetap diperlukan sehubungan dengan perang perdagangan AS-China, kami melihat tanda-tanda bahwa aksi jual baru-baru ini pada mata uang AXJ (Asia ex Japan) dapat stabil,” ujar Christopher Wong, pakar strategi senior bidang valas di Maybank, seperti dikutip dari Bloomberg.

“Langkah kebijakan dari kawasan itu termasuk komitmen dan prioritas Indonesia untuk menstabilkan valas dan kemungkinan langkah dari India untuk menstabilkan mata uang, seharusnya membendung sentimen [negatif] dan memperlambat laju depresiasi di kawasan itu.”

Lembaga pemeringkat Moody's menyatakan kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih bisa mengatasi pelemahan rupiah. 
 
Namun, jika pelemahan rupiah berlanjut semakin dalam, maka berpotensi menimbulkan dampak negatif yang lebih luas. Apalagi, pemerintah dan korporasi banyak bergantung terhadap pendanaan dari luar.
  
“Meski pelemahan rupiah sampai saat ini memiliki dampak terbatas terhadap kredit, tapi pelemahan lebih dalam bisa berpengaruh negatif secara lebih luas. Berlanjutnya depresiasi rupiah akan mengerek utang dan debt-servicing costs (biaya peminjaman utang), meningkatkan kerentanan eksternal, serta menambah tekanan inflasi,” paparnya dalam keterangan resmi.
 
Menurut Moody's, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 9% sejak Februari 2018. Namun, pelemahan ini tidak sedalam mata uang negara-negara lainnya.

Beberapa mata uang lain di Asia ikut terdepresiasi, dipimpin yen Jepang yang melemah 0,42% pada pukul 17.42 WIB. Adapun rupee India yang menguat 0,71% memimpin apresiasi di antara mata uang lainnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper