Bisnis.com, JAKARTA - Tampaknya awan hitam masih merundung perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan pada tahun ini. Tidak hanya produksi, belanja modal yang dialokasikan oleh sejumlah emiten tambang juga ambrol lantaran terus melorotnya harga minyak dunia.
Catatan Bisnis.com, anggaran belanja modal (capital expenditure/capex) tujuh emiten pertambangan dipangkas hampir separuh dari tahun lalu. Belanja modal yang dianggarkan ketujuh emiten itu turun 45% year-on-year dari Rp16,4 triliun menjadi Rp8,9 triliun pada tahun ini.
Emiten tambang pelat merah PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk. menjadi perusahaan pemangkas belanja modal terbesar mencapai 57,4% y-o-y. Emiten berkode saham PTBA tersebut menganggarkan belanja modal Rp3,5 triliun pada tahun ini dari sebelumnya US$500 juta hingga US$600 juta.
Kemudian, PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) menjadi emiten dengan pemangkasan capex terbesar berikutnya hingga 50% dari tahun lalu. Manajemen BUMI menganggarkan belanja modal US$50 juta pada tahun ini dari sebelumnya US$100 juta.
Sementara sesama emiten tambang milik negara, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. menjadi emiten dengan target produksi yang ambrol paling tajam. Produksi emas Antam diproyeksi berkurang 71,17% pada tahun ini menjadi 2.450 kilogram dari sebelumnya 8.500 kilogram.
Sebaliknya, Bukit Asam menjadi perusahaan tambang paling optimistis dengan lonjakan target produksi 83,96% y-o-y. Bukit Asam menargetkan dapat memproduksi batu bara 10,32 juta ton dari tahun sebelumnya 5,61 juta ton.
Direktur dan Corporate Secretary PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) Dileep Srivastava mengatakan perseroan belum mengumumkan target produksi batu bara pada tahun ini. Namun, dia memerkirakan produksi batu bara bakal sama dengan tahun lalu sebanyak 80 juta ton.
"Belanja modal kami untuk sustenance dan perawatan sekitar US$50 juta," katanya kepada Bisnis.com, Rabu (3/2/2016).
Dileep menegaskan, perseroan tidak memiliki utang dari bank di Indonesia. Utang BUMI berasal dari China Investment Corporation (CIC), pemegang obligasi secured dan unsecured asing, serta dari sejumlah perbankan.
Menurutnya, selama lebih dari setahun, BUMI telah melakukan dialog intesif dengan para pemegang obligasi. Manajemen BUMI berharap menemukan solusi terbaik bagi perjanjian restrukturisasi utang perseroan.
Dalam laporan keuangan Bumi Resources per kuartal III/2015, pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo dalam setahun mencapai US$3,63 miliar, melonjak tipis 1,42% dari akhir tahun sebelumnya senilai US$3,58 miliar. Obligasi konversi tidak mengalami perubahan mencapai US$375 juta.
Bumi Resources tercatat tidak memiliki pinjaman jangka panjang, lantaran jatuh tempo dalam waktu setahun. Total liabilitas Bumi Resources mencapai US$5,79 miliar per 30 September 2015, naik 8,4% dari akhir tahun sebelumnya US$5,34 miliar.
Secara terpisah, Sekretaris Perusahaan Antam Tri Hartono, mengatakan perseroan menargetkan produksi feronikel dapat mencapai 20.000 ton nikel. Target tersebut sama dengan proyeksi yang ingin dicapai perseroan pada tahun lalu.
Target produksi emas Antam melorot tajam menjadi 2,45 ton dari tahun lalu 8,5 ton. "Untuk target Capex sekitar Rp1,6 triliun," katanya.
Belanja modal yang dianggarkan oleh manajemen ANTM terbilang ambrol 46,91% y-o-y. Pada tahun lalu, manajemen Antam menganggarkan belanja modal senilai US$220 juta setara dengan Rp3,01 triliun.
Capex tahun ini, sambungnya, akan digunakan untuk penyelesaian proyek pembangunan pabrik feronikel Pomalaa (P3FP) dan proyek pembangunan pabrik feronikel Halmahera (P3FH). Capex juga bakal digunakan untuk konversi energi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di Pomalaa.
"Sumber dana belanja modal dari penyertaan modal negara [PMN] dan pinjaman," tuturnya.
Head of Corporate Communication Division PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) Febrianti Nadira mengatakan pada tahun ini, perseroan menganggarkan belanja modal US$75 juta hingga US$100 juta setara dengan Rp1,71 triliun. Capex tersebut lebih rendah 19% dari tahun lalu US$75 juta hingga US$125 juta setara dengan Rp1,37 triliun.
"Untuk tahun 2016, target produksi masih sama yaitu 52 juta ton hingga 54 juta ton," paparnya.
Keyakinan terbalik terjadi pada Bukit Asam lantaran membidik pertumbuhan produksi 83,97% y-o-y menjadi 10,32 juta ton tahun ini. Manajemen Bukit Asam menyiasati penurunan harga komoditas dengan menggenjot produksi.
"Margin batu bara kami terus terjaga," ucap Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Joko Pramono.
Menurutnya, terus turunnya harga komoditas batu bara sejak Januari hingga 20%, membuat perseroan harus memeras kemampuan untuk menjaga margin. Permintaan batu bara produksi emiten berkode saham PTBA tersebut diklaim masih lebih baik ketimbang harga yang terus melorot.
Akan tetapi, PTBA menganggarkan belanja modal senilai Rp3,5 triliun, termasuk carry over dari investasi tahun lalu. Anggaran belanja modal tahun ini terpangkas 57,4% dari tahun lalu yang mencapai US$500 juta-US$600 juta setara dengan Rp8,22 triliun.
Belanja modal yang dianggarkan pada tahun ini rencananya bakal berasal dari kas internal perseroan. Namun, bila dihitung seluruh proyek tahun lalu terlaksana sesuai jadwal, Capex tahun ini terbilang lebih rendah.