Bisnis.com, JAKARTA — PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memperkirakan obligasi tenor pendek menjadi opsi menarik dalam berinvestasi saat ini, seiring dengan ekspektasi penurunan Fed Rate dan BI Rate hingga akhir tahun ini.
Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Laras Febriany mengatakan hal ini dikarenakan dengan turunnya suku bunga acuan, maka imbal hasil obligasi ikut mengalami penurunan sehingga investasi pada tenor tersebut diharapkan dapat mencetak capital gain.
“Kupon obligasi juga dapat menjadi bantalan di tengah tingginya ketidakpastian serta volatilitas jangka pendek yang diperkirakan masih akan terjadi,” ujarnya, dikutip pada Selasa (16/6/2025).
Lebih jauh, dia menjelaskan Bank Indonesia (BI) mengindikasikan ruang pemangkasan suku bunga masih terbuka di tengah inflasi sangat terjaga dan adanya urgensi untuk mendukung pertumbuhan melalui pelonggaran moneter.
Dia juga memproyeksikan untuk BI Rate sampai akhir tahun ini setidaknya di level 5,25%, alias terjadi satu kali lagi penurunan.
"Selain lewat penurunan BI Rate, ekspektasi perbaikan likuiditas pasar ke depan juga terjadi setelah BI menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial atau PLM sebesar 100 bps yang diperkirakan menghasilkan tambahan likuiditas pasar senilai kisaran Rp90 triliun,” jelasnya.
Baca Juga
Selain itu, kata dia, likuiditas juga akan meningkat seiring jatuh tempo SRBI yang mencapai puncaknya bulan-bulan mendatang pada kuartal III/2025 sebesar Rp273 triliun dan kuartal IV/2025 senilai Rp224 triliun.
Ekspektasi redanya perang dagang dan meningkatnya preferensi dan alokasi investasi ke luar AS yang membuat indeks Dolar AS melemah membuka peluang bagi pemerintah untuk terus menjaga stabilitas Rupiah.
Tekanan pada Rupiah juga berkurang setelah berlalunya periode musiman pembayaran dividen dan kebutuhan dolar AS terkait musim ibadah Haji. Manulife memperkirakan nilai tukar rupiah sampai akhir tahun akan berada di kisaran Rp16.200—16.900 per dolar AS.
Meski demikian dia masih mencermati faktor risiko dari sisi global adalah masih berlanjutnya volatilitas pada imbal hasil US Treasury dengan diturunkannya peringkat kredit AS serta berlanjutnya perang tarif antara AS dan China.
Sementara itu faktor risiko dari sisi domestik yakni apabila stimulus yang digelontorkan pemerintah tidak tepat sasaran sehingga konsumsi belum dapat pulih sepenuhnya sehingga dapat berpengaruh kepada pertumbuhan PDB.
Katalis positif yang diharapkan dapat menopang pasar yakni terjaganya pasokan obligasi denominasi Rupiah, dengan rencana kenaikan penerbitan obligasi global, baik dalam Dolar AS maupun dalam mata uang asing lainnya seperti AUD dan RMB.
Ekspektasi penurunan penerbitan SRBI dan tingginya jumlah jatuh tempo SRBI di pasar juga diharapkan dapat meningkatkan likuiditas pada pasar obligasi.
Pada Mei 2025, tensi perang dagang terutama antara Amerika Serikat (AS) dan China terlihat sedikit mendingin. Bahkan di awal Juni ini sudah ada tanda-tanda perundingan yang lebih konkret antara kedua negara.
“Kami melihat sentimen pasar memang membaik. Jika satu—dua bulan lalu pasar selalu bereaksi negatif cenderung langsung melihat kemungkinan-kemungkinan terburuk yang ada, saat ini pasar lebih terlihat hopeful walaupun tetap masih sangat waspada,” Imbuhnya.
Hal ini terjadi karena perkembangan negosiasi tarif perdagangan menopang sentimen pasar dan mengurangi kekhawatiran terhadap risiko resesi ekonomi. Dia melihat AS dan Inggris sudah mencapai mencapai kesepakatan, AS dan Uni Eropa sepakat memperpanjang masa negosiasi untuk 90 hari kedua, dan yang paling menjadi perhatian pasar, AS dan China saling membuka diri untuk bernegosiasi dan menurunkan tarif.
Namun di sisi lain, pasar tetap waspada mengingat kebijakan AS yang sangat mudah berubah, dan—yang terpenting—walaupun tingkat tarif antar negara akhirnya bersifat final, namun setidaknya tarif dasar universal 10% tetap akan berlaku, dan tentu akan berdampak negatif terhadap perdagangan dan pertumbuhan global.