Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wall Street Menghijau saat Investor Sambut Relaksasi Tarif

Bursa saham AS ditutup menguat, didorong lonjakan saham Apple setelah Gedung Putih membebaskan ponsel pintar dan komputer dari tarif baru.
Pialang berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, Amerika Serikat. Bloomberg/Michael Nagle
Pialang berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, Amerika Serikat. Bloomberg/Michael Nagle

Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat ditutup menguat pada Senin (14/4/2025), didorong lonjakan saham Apple yang memberikan dorongan terbesar bagi indeks S&P 500, setelah Gedung Putih membebaskan ponsel pintar dan komputer dari tarif baru.

Meski demikian, kekhawatiran terhadap kelanjutan kebijakan tarif masih membayangi dan menahan lonjakan indeks utama dari titik tertingginya sepanjang hari.

Melansir Reuters, Selasa (15/4/2025), indeks Dow Jones Industrial Average ditutup menguat 312,08 poin atau 0,78% ke 40.524,79, sedangkan indeks S&P 500 naik 42,61 poin atau 0,79% ke 5.405,97, dan Nasdaq Composite menguat 107,03 poin atau 0,64% ke 16.831,48.

Indeks Volatilitas CBOE (VIX) yang menjadi indikator ketakutan pasar turun ke 30,89, level penutupan terendah sejak 3 April.

Investor masih diliputi kegelisahan terkait bagaimana perusahaan akan menyesuaikan rantai pasok mereka di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan.

Pemerintah AS mengumumkan kebijakan pengecualian tarif tersebut pada Jumat (11/4), namun Presiden Donald Trump menyatakan pada Minggu bahwa ia akan mengumumkan tarif impor semikonduktor dalam waktu satu pekan ke depan.

Saham teknologi global sebagian besar merespons positif, terutama perusahaan-perusahaan yang sangat bergantung pada impor dari China. Saham Apple naik 2,2%, Dell menguat 4%, dan HP terdongkrak 2,5%.

Namun, indeks semikonduktor hanya mencatat kenaikan tipis 0,3%, sementara saham raksasa chip Nvidia justru melemah 0,2%.

Perdagangan hari Senin berlangsung fluktuatif, mencerminkan gejolak yang terus terjadi sejak Trump mengumumkan gelombang tarif pada 2 April lalu. Kekhawatiran akan risiko resesi akibat perang dagang global memicu pergerakan ekstrem di pasar saham—salah satu yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir.

Manajer portofolio Argent Capital Advisors Jed Ellerbroek mengatakan kondisi yang terjadi saat ini adalah ketidakpastian yang terus berlanjut.

Baik konsumen, pelaku usaha, maupun investor kesulitan merencanakan masa depan atau tidak yakin untuk membuat keputusan jangka panjang,” ungkapnya.

Secara teknikal, analis mencatat bahwa S&P 500 kini memasuki pola “death cross, ” yakni kondisi ketika rata-rata pergerakan 50 hari melintasi di bawah rata-rata pergerakan 200 hari, yang sering diasosiasikan dengan tren penurunan jangka panjang.

Meskipun terdengar menyeramkan, sejarah mencatat sinyal tersebut tidak selalu berarti pasar akan terjun lebih dalam. Sejauh ini, S&P 500 masih tercatat turun sekitar 8% sepanjang tahun.

Bursa Wall Street akan tutup pada Jumat, namun pekan ini tetap akan diwarnai laporan keuangan penting dari sejumlah perusahaan AS.

Dengan bayang-bayang tarif masih menggantung, banyak manajemen perusahaan diperkirakan enggan memberikan proyeksi optimistis.

“Semua tahu bahwa masa depan tidak akan sama dengan masa lalu. Para eksekutif akan sangat berhati-hati untuk berkomitmen,” tambah Ellerbroek.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper