Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah dibuka melemah pada perdagangan hari ini, Kamis (7/9/2023) tertekan kehawatiran pasar terhadap sikap hawkish Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka melemah 0,23 persen atau 35,5 poin ke posisi Rp15.330 di hadapan dolar AS. Sementara itu, indeks dolar terpantau melemah 0,03 persen ke level 104.794.
Sejumlah mata uang Asia lainnya bergerak bervariasi. Yen Jepang menguat 0,03 persen dolar Hong Kong melemah 0,02 persen, serta peso Filipina menguat 0,19 persen.
Sementara mata uang yang ikut melemah bersama rupiah adalah won Korea melemah 0,16 persen, rupee India melemah 0,12 persen, yuan China melemah 0,04 persen, ringgit Malaysia melemah 0,02 persen dan bath Thailand melemah 0,10 persen.
Sebelumnya, Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memproyeksikan rupiah hari ini diprediksi bergerak fluktuatif namun berpotensi ditutup melemah di rentang Rp15.270 hingga Rp15.360.
Saat ini pasar tengah menantikan lebih lanjut informasi mengenai kebijakan moneter Amerika Serikat yang akan diumumkan oleh beberapa pejabat dari Federal Reserve.
Baca Juga
Pada Kamis waktu setempat, Presiden Federal Reserve Chicago, Austan Goolsbee, bersama dengan anggota komite pasar terbuka Federal Reserve, John Williams dan Michelle Bowman, akan memberikan pidato.
Pengumuman ini akan dilakukan sebelum pertemuan dua hari yang akan diadakan pada tanggal 19 dan 20 September, yang merupakan antisipasi pasar terhadap kebijakan Federal Reserve. Bank sentral diperkirakan akan mempertahankan tingkat suku bunganya, meskipun baru-baru ini terdapat indikasi penurunan aktivitas ekonomi.
Ibrahim mengatakan The Fed masih diperkirakan akan menjaga retorika hawkish mengingat inflasi yang masih stabil dan kekuatan pasar tenaga kerja. Hal ini diperkirakan akan memberikan tekanan negatif pada harga emas dan logam lainnya selama sisa tahun ini.
Di sisi lain, di tingkat domestik, Indonesia harus tetap waspada terhadap gejolak global, meskipun pertumbuhan ekonomi dalam negeri tetap stabil dengan pertumbuhan sebesar 5 persen selama 7 kuartal berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi pada tahun depan diperkirakan akan mencapai 5,2 persen, tetapi perlu diperhatikan beberapa isu jangka menengah dan jangka panjang seperti fragmentasi global, perubahan iklim, dan digitalisasi.
"Selain itu, perlu juga kewaspadaan terhadap kemungkinan kembalinya pandemi di masa mendatang, yang dapat berdampak negatif baik di Indonesia maupun di seluruh dunia," kata Ibrahim.
Perekonomian global mengalami pertumbuhan sebesar 6,3 persen pada tahun 2021, namun kemudian mengalami perlambatan menjadi 3,5 persen, yang disertai dengan penurunan tingkat inflasi.
Sebagian besar bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi yang tinggi pada tahun 2022, dan diperkirakan tingkat inflasi akan tumbuh sebesar 3 persen pada tahun 2023 dan 2024. Oleh karena itu, Indonesia dihadapkan pada tantangan jangka pendek, termasuk dampak dari kebijakan suku bunga global yang tinggi dalam jangka waktu yang lama terhadap perekonomian dalam negeri.