Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) melaporkan dana asing senilai Rp3,97 triliun telah masuk ke pasar modal Indonesia dalam kurun 7–10 November 2022, sepekan menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Aliran dana masuk tersebut turut memicu penguatan rupiah ke level Rp15.493 pada Jumat (11/11/2022) berdasarkan kurs JISDOR BI, dari Rp15.736 pada Jumat pekan lalu.
Berdasarkan data BI, nonresiden atau asing membukukan beli bersih (net buy) Rp4,07 triliun di pasar surat berharga negara (SBN) dan jual bersih (net sell) Rp100 miliar di pasar saham.
“Selama tahun 2022, berdasarkan data setelmen sampai 10 November 2022, nonresiden jual neto Rp173,11 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp78,39 triliun di pasar saham,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia
Rupiah ditutup di level (bid) Rp15.690 per dolar AS pada Kamis (10/11/2022). Sementara itu, imbal hasil yield SBN 10 tahun turun ke 7,30 persen dan indeks dolar melemah ke level 108,21. Yield US Treasury (UST) tenor 10 tahun tercatat turun ke level 3,813 persen.
Erwin melanjutkan rupiah kemudian dibuka pada level Rp15.540 per dolar AS pada Jumat (11/11/2022), sedangkan yield SBN 10 tahun melanjutkan penurunan ke level 7,07 persen
Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia Fikri C. Permana menjelaskan kuatnya aliran modal asing ke pasar Indonesia pada pekan lalu didorong oleh magnet pasar Indonesia yang masih menarik. Tren ini kemungkinan berlanjut dalam beberapa waktu ke depan.
“Saya pikir karena yield kita masih sangat menarik. Pada saat yang sama ada risk off dari pasar yang sudah mulai masuk ke pasar negara berkembang. Saya kira ini yang menjadi pendorong masuknya modal asing di pasar kita,” kata Fikri, Minggu (13/11/2022).
Sejumlah data ekonomi yang dirilis awal November 2022 juga makin memperkuat daya tarik pasar Indonesia. Perekonomian Indonesia pada kuartal III/2022 menunjukkan kinerja positif, disertai dengan inflasi yang terjaga. Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu kedua November 2022 oleh BI, inflasi diperkirakan sebesar 0,11 persen month-to-month (mtm).
Inflasi Amerika Serikat pada Oktober yang mencapai 7,7 persen secara tahunan juga menjadi angin segar karena berada di bawah estimasi. Inflasi yang melambat ini membuka peluang The Fed akan menerapkan kebijakan suku bunga yang lebih dovish ke depannya.
“Ini akan membuat cost of fund pasar global lebih rendah dari perkiraan dan membuat investor global mencari instrumen yang menarik, dalam artian punya yield tinggi dan prospek jangka panjang baik, serta inflasi yang terjaga. Indonesia menjadi salah satunya,” tambah Fikri.
Dengan prospek aliran modal asing yang positif ke depannya, Fikri memperkirakan rupiah masih akan terapresiasi pekan ini. Namun, dia mengemukakan investor juga akan tetap mengawasi rilis neraca perdagangan Oktober 2022 serta kebijakan BI 7 Day Repo Reverse Rate (BI7DRR) bulan ini.
“Jika surplus masih sekitar US$5 miliar per bulan, saya pikir masih akan membuat fundamental rupiah tetap baik. Kemudian jika BI kembali menaikkan suku bunga, maka paritas dengan The Fed akan kembali melebar. Ini akan membuat pasar Indonesia lebih menarik lagi sehingga mendorong arus masuk modal dan rupiah mungkin lebih kuat apresiasinya,” kata dia.