Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat di Wall Street, New York terpukul aksi jual pada akhir perdagangan Jumat (23/9/2022) waktu setempat akibat rencana Inggris untuk menerapkan pemotongan pajak terbesar sejak 1972, memicu kekhawatiran tentang peningkatan inflasi dan resesi global.
Berdasarkan data Bloomberg, Sabtu (24/9/2022) indeks Dow Jones Industrial Average ditutup anjlok 1,62 persen atau 486,27 poin ke 29.590,41, S&P 500 merosot 1,72 persen atau 64,76 poin ke 3.693,23, dan Nasdaq tergelincir 1,80 persen atau 198,88 poin ke 10.867,93.
Saham-saham tampak berkubang di zona merah, sementara pelaku pasar mencari tanda-tanda kapan pelemahan akan mereda. Namun kurangnya kapitulasi penuh kemungkinan merupakan indikasi bahwa aksi jual belum berakhir.
Goldman Sachs Group Inc. memangkas target untuk pertumbuhan saham AS tahun ini, memperingatkan bahwa perubahan dramatis dalam prospek suku bunga akan membebani penilaian.
Saat sentimen risk-off bertahan, pengukur ketakutan (fear gauge) Wall Street melonjak ke level tertinggi tiga bulan, dengan Indeks Volatilitas Cboe (VIX) untuk sementara berada di atas 30. Sepanjang tahun, patokan saham AS telah mencapai posisi terendah jangka pendek ketika VIX berada di atas tingkat itu, menurut DataTrek Research.
Lonjakan greenback ke rekor baru menyapu mata uang global. Euro merosot ke level terlemahnya sejak 2002, sementara sterling mencapai level terendah 37 tahun. Adapun mantan Menteri Keuangan AS Lawrence Summers mengatakan bahwa kebijakan Inggris yang ‘naif’ dapat menciptakan keadaan bagi pound untuk melewati keseimbangan dengan dolar.
Baca Juga
Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun setelah sebelumnya mencapai 3,8 persen. Sementara itu, obligasi AS tenor dua tahun naik selama 12 hari berturut-turut, atau kenaikan yang tidak terlihat setidaknya sejak 1976.
“Tampaknya para pedagang dan investor akan menyerah pada minggu ini dalam apa yang terasa seperti jenis peristiwa 'langit runtuh’ dan begitu semua orang berhenti mengatakan bahwa mereka pikir resesi akan datang lalu menerima kenyataan bahwa itu sudah ada di sini, maka kondisi akan berubah,” kata Kenny Polcari, kepala strategi di SlateStone Wealth.
Perdana Menteri Inggris yang baru Liz Truss memberikan pemotongan pajak paling besar sejak 1972 pada saat Bank of England berjuang untuk mengendalikan inflasi, yang berjalan hampir lima kali lipat dari targetnya. Penurunan pemasukan pajak bisa diartikan bahwa investor sekarang bertaruh bahwa bank sentral Inggris akan menaikkan suku bunga acuan pinjamannya satu poin penuh menjadi 3,25 persen pada November 2022, yang akan menjadi peningkatan paling tajam sejak 1989.
Di tengah meningkatnya kekhawatiran atas pendaratan ekonomi yang sulit, komoditas terpukul secara menyeluruh. Harga minyak West Texas Intermediate menetap di bawah US$79 per barel untuk pertama kalinya sejak Januari, membukukan kerugian mingguan terpanjang tahun ini. Bahkan emas sebagai aset safe haven tidak bisa naik karena dolar melonjak, dan tenggelam ke level terendah dalam dua tahun.
“Kekuatan greenback tidak henti-hentinya dan akan memberikan hambatan yang berarti pada pendapatan perusahaan, berfungsi sebagai angin sakal utama untuk saham,” kata David Rosenberg, pendiri perusahaan riset senama.
KKR & Co. melihat potensi masalah ke depan, termasuk resesi ringan tahun depan, dengan The Fed secara sempit berfokus pada peningkatan pengangguran untuk menjinakkan inflasi. Kekurangan tenaga kerja AS sangat parah sehingga kemungkinan pengetatan The Fed tidak berhasil.
“Ini adalah hasil yang lebih kejam daripada penurunan laba perusahaan, karena itu akan mendorong The Fed untuk memperketat lebih jauh,” tulis Henry McVey, kepala investasi neraca KKR & CO.
Investor berbondong-bondong lari ke uang tunai dan menghindari hampir setiap kelas aset lainnya karena mereka menjadi yang paling pesimis sejak krisis keuangan global, menurut Bank of America Corp.