Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah merosot pada akhir perdagangan Rabu (29/6/2022), karena kenaikan persediaan bensin dan minyak sulingan AS serta kekhawatiran mengenai perlambatan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia.
Dilansir Antara, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Agustus melemah 1,72 poin atau 1,5 persen ke level US$116,26 per barel. Kontrak Agustus akan berakhir pada Kamis dan kontrak September yang lebih aktif turun 1,35 poin ke US$112,45 per barel.
Sementara itu, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Agustus ditutup terpangkas 1,98 poin atau 1,8 persen ke US$109,78 per barel.
Kekhawatiran pertumbuhan ekonomi mengimbangi sentimen pasokan minyak mentah yang lebih ketat. Badan Informasi Energi AS (Energi Information Administration/EIA) mengatakan persediaan minyak mentah AS turun pekan lalu bahkan ketika produksi mencapai level tertinggi sejak April 2020 selama gelombang pertama pandemi virus corona.
Stok bahan bakar naik karena kilang meningkatkan aktivitas, beroperasi pada 95 persen dari kapasitas, tertinggi untuk tahun ini dalam empat tahun.
"Laporan EIA meredam pasar. Kenaikan persediaan bensin dan sulingan sedikit mengurangi tekanan dan kenaikan produksi AS juga menjadi faktor penurunan harga," kata mitra Again Capital LLC John Kilduff, seperti dilansir Antara, Kamis (30/6/2022).
Baca Juga
Kenaikan persediaan yang mengejutkan itu menyebabkan harga bensin dan sulingan berjangka AS turun masing-masing sekitar 3,0 persen dan 4,0 persen. Pedagang mengatakan minyak mentah berjangka mengikuti harga bahan bakar yang lebih rendah.
Juga memberi tekanan pada minyak adalah kenaikan dolar AS terhadap sekeranjang mata uang lainnya ke level tertinggi sejak mencapai level tertinggi 19 tahun pada pertengahan Juni. Dolar yang lebih kuat membuat minyak lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.
Brent dan WTI naik sekitar 7,0 persen selama tiga sesi sebelumnya di tengah kekhawatiran tentang ketatnya pasokan, sebagian karena sanksi Barat terhadap Rusia.
"Mengingat bahwa hampir seperlima dari kapasitas produksi minyak global saat ini berada di bawah beberapa bentuk sanksi (Iran, Venezuela, Rusia), kami percaya tidak ada cara praktis untuk menjaga barel ini keluar dari pasar yang sudah sangat ketat," JP Morgan mengatakan dalam sebuah catatan penelitian.
Tetapi investor juga khawatir bahwa ekonomi yang melambat dapat mengurangi permintaan energi karena bank sentral menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi.
Federal Reserve AS tidak akan membiarkan ekonomi tergelincir ke "rezim inflasi yang lebih tinggi" sekalipun itu berarti menaikkan suku bunga ke tingkat yang menempatkan pertumbuhan dalam risiko, kata Ketua Fed Jerome Powell.
Ketidakpastian di pasar minyak dan gas global dapat bertahan untuk beberapa waktu mendatang karena kapasitas cadangan sangat rendah sementara permintaan masih pulih, kata Kepala Eksekutif Shell PLC Ben van Beurden.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya seperti Rusia yang membentuk kelompok OPEC+, memulai serangkaian pertemuan dua hari pada Rabu (29/6/2022) dengan sumber mengatakan kemungkinan perubahan kebijakan besar tampaknya tidak mungkin terjadi bulan ini.
Analis khawatir bahwa Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) mungkin tidak memiliki kapasitas cadangan yang cukup untuk menebus pasokan Rusia yang hilang. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan minggu ini dia diberitahu bahwa produsen ini akan kesulitan untuk meningkatkan produksi lebih lanjut.
Namun, menteri energi UEA mengatakan negara itu, yang memproduksi sekitar 3 juta barel per hari, memiliki beberapa kapasitas cadangan di atas kuota OPEC sebesar 3,17 juta barel per hari.
Analis juga memperingatkan bahwa kerusuhan politik di Ekuador dan Libya dapat memperketat pasokan lebih lanjut.