Bisnis.com, JAKARTA – Aksi jual di pasar Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia masih terjadi memasuki akhir bulan April. Meski demikian, kondisi pasar obligasi diyakini akan mulai pulih pada paruh kedua tahun 2022.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede memaparkan, tingkat permintaan dari investor asing terhadap SBN domestik cenderung turun selama ketidakpastian global yang meningkat sejak bulan Februari 2022. Hal ini disebabkan baik akibat sentimen Fed, maupun dari risk-off akibat perang Rusia-Ukriana.
Ia menjelaskan, di pasar primer terlihat terjadi penurunan, baik penawaran yang masuk maupun bid-to-cover ratio, sejak akhir Februari hingga saat ini. Sementara itu, dari pasar sekunder, investor asing cenderung mencatatkan aksi jual di bulan Maret hingga akhir April.
“Tercatat, kepemilikan asing turun hingga Rp48,35 triliun. Pada bulan April, aksi jual dari investor asing masih terus terjadi, terefleksi dari penurunan kepemilikan SBN sebanyak Rp5,76 triliun per tanggal 22 April lalu,” jelasnya saat dihubungi, Selasa (26/4/2022).
Josua melanjutkan, kondisi tersebut mendorong pelemahan dari obligasi, sehingga yield SBN cenderung meningkat hingga melebihi 60 basis poin tahun ini. Dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia, pergerakan yield Indonesia cenderung serupa dengan peningkatan sebanyak kurang lebih 60 – 80 basis poin.
Ke depannya, Josua mengatakan, selama sentimen hawkish dan tensi geopolitik masih tinggi, potensi terjadinya capital outflow masih relatif tinggi di pasar obligasi.
Baca Juga
Namun, di paruh kedua 2022 mendatang, ketika sentimen tersebut diperkirakan sudah mulai mereda, permintaan investor terhadap SBN secara perlahan akan pulih. Hal tersebut akan mendorong penurunan imbal hasil.
“Pada akhir tahun, diperkirakan yield SBN 10-tahun akan berada pada kisaran 6,8 persen - 7,0 persen,” pungkas Josua.
Sebelumnya, riset dari Infovesta Utama menyebutkan, tekanan di pasar obligasi turut dipengaruhi oleh sentimen luar negeri, salah satunya adalah tekanan kenaikan tingkat suku bunga the Fed.
Sinyal kenaikan suku bunga semakin jelas setelah ketua The Fed mengisyaratkan kenaikan sebesar 50 bps akan dilakukan pada bulan Mei 2022 yang diikuti dengan lonjakan imbal hasil (yield) AS yang naik ke level 2,9% atau tertinggi sejak 2018.
“Seiring dengan sentimen negatif yang terjadi, kami melihat BI baru akan menaikkan suku bunga pada bulan Juni mendatang karena tekanan capital outflow pada SBN masih tidak terlalu besar saat ini dan rupiah yang masih stabil di level Rp14.356 per dollar AS,” jelasnya.