Bisnis.com, JAKARTA - Kesepakatan negara maju yang tergabung dalam G7 untuk menetapkan pajak minimum korporasi global sebesar 15 persen diyakini memiliki dampak netral hingga rendah terhadap pasar modal dalam negeri.
Untuk diketahui, negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi di dunia yaitu Kanada, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, United Kingdom, dan Amerika Serikat yang tergabung dalam G7 membuat kesepakatan terkait pajak korporasi belum lama ini.
Kesepakatan itu untuk membuat perusahaan multinasional yang beroperasi di beberapa negara harus membayar pajak lebih besar di manapun mereka menjual produk atau layanan.
Hal itu mengingat selama ini banyak perusahaan mendulang profit tinggi tetapi hanya membayar pajak rendah karena kantor pusat perusahaan itu berada di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Selain itu, kesepakatan itu juga menetapkan tarif pajak korporasi minimum global sebesar 15 persen untuk menghentikan kompetisi tarif pajak banyak negara. Hal ini demi menarik perusahaan multinasional beroperasi di negaranya masing-masing.
Namun, untuk saat ini kesepakatan itu masih hanya berlaku di antara 7 negara terkaya itu. Kesepakatan ini akan dilanjutkan untuk didiskusikan oleh negara G20 dalam pertemuannya pada Juli 2021.
Baca Juga
Head of Research Maybank Kim Eng Sekuritas Indonesia Isnaputra Iskandar menjelaskan bahwa pasar modal termasuk emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tidak akan terdampak signifikan jika kesepakatan itu meluas, tidak hanya bagi G7 saja.
“Hal itu karena sebagian besar perusahaan tercatat tidak memiliki operasional di luar negeri yang begitu signifikan,” tulis Isnaputra dikutip dari publikasi risetnya, Kamis (17/6/2021).
Dia menjelaskan bahwa emiten itu telah beroperasi di negara yang memiliki tarif pajak di atas 15 persen atau tidak memiliki kontribusi pendapatan signifikan dari operasional luar negerinya sehingga tidak akan begitu mempengaruhi keseluruhan kinerja pendapatan.
Adapun, Maybank KimEng Sekuritas mencatat setidaknya terdapat 10 emiten yang memiliki operasional di luar negeri, antara lain PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) yang memiliki aset batu bara kokas di Australia, dan PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA) yang memiliki proyek di Malaysia, Nigeria, Filipin, Taiwan, dan Timor Leste.
Tidak hanya itu, ada sejumlah perbankan pelat merah seperti PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) yang memiliki kantor cabang antara lain di Hong Kong, Singapura, China, Jepang, AS, dan Timor Leste.
Namun, Isnaputra menilai kesepakatan pajak G7 ini akan berdampak pada perusahaan teknologi yang berencana IPO pada semester II/2021 jika calon emiten memiliki operasi di negara yang menerapkan tarif pajak korporasi lebih rendah dari 15 persen.
Di sisi lain, Isnaputra meyakini pasar mungkin bergejolak dalam jangka pendek akibat sentimen itu, tetapi jika dilihat prospek jangka menengah hingga panjang pasar modal dalam negeri akan tetap menarik karena perubahan struktural dalam ekonomi.
Hal itu karena kesepakatan tarif pajak ini sesungguhnya dapat dilihat sebagai komitmen pemerintah untuk menjaga kebijakan fiskal yang prudent. Selain itu, hal ini dapat menjadi hal yang positif dan mendukung upaya pemerintah untuk menurunkan transfer keuntungan oleh perusahaan Indonesia ke negara lain.
Sumber: riset Maybank KimEng Sekuritas