Bisnis.com, JAKARTA - Rebound ekonomi global saat pandemi Covid-19 membuat harga bijih besi bergerak liar. Harga untuk kontrak berjangka di Singapura hampir dua kali lipat dalam enam bulan terakhir ke rekor tertinggi US$ 226,55 per metrik ton.
Melansir Bloomberg, Dalian Commodity Exchange China menaikkan batas perdagangan dan persyaratan margin pada Selasa, setelah kontrak berjangka hari sebelumnya naik maksimum harian 10 persen.
Siapapun pun yang berharap harga kembali di bawah US$ 80 pada Mei lalu perlu memperhitungkan faktor-faktor mendasar yang menggerakkan pasar.
Pertama, separuh baja dunia dibuat di China, dan harga di negara tersebut melonjak dalam beberapa bulan terakhir. Baja tulangan yang digunakan dalam konstruksi naik 54 persen selama enam bulan terakhir, sedangkan kumparan canai panas yang digunakan pada kendaraan dan produk konsumen telah meningkat lebih dari 60 persen.
Akibatnya, bahkan harga baru-baru ini tidak cukup untuk mencegah pemilik pabrik membeli lebih banyak bijih besi. Adapun keuntungan di bulan April, berdasarkan bahan mentah dan biaya standar, mencapai rekor 1.266 yuan atau US$ 197 per metrik ton.
Sementara Beijing telah mendorong pembuat baja untuk beralih ke produk datar bernilai lebih tinggi seperti kumparan canai panas. Saat ini produk panjang seperti tulangan masih menunjukkan kekuatan yang cukup besar.
Pada Maret dan April saja, persediaan bahan tulangan di Beijing, Shanghai dan Guangzhou turun sekitar 1,2 juta ton, terhitung sekitar tiga perempat dari total pengurangan stok di tiga kota.
Hal tersebut sesuai dengan permintaan dari industri utama. Total properti kumulatif 7,98 miliar meter persegi (86 miliar kaki persegi) yang sedang dibangun pada bulan Maret sekitar 25 persen lebih tinggi dari rata-rata untuk bulan itu selama lima tahun hingga 2019. Penjualan mobil, pendorong pola dasar untuk produk flat, sekitar 8,3 persen di bawah rata-rata lima tahun yang setara.
Konstruksi menyumbang sekitar sepertiga dari konsumsi baja China, jadi peningkatan besar dalam aktivitas bangunan akan memiliki efek tak terhindarkan pada baja dan bijih besi.
Beijing ingin menghentikan pertumbuhan kapasitas dan output dalam industri baja setelah peningkatan besar tahun lalu, tetapi angka industri sudah memperkirakan bahwa itu hanya akan mengalihkan konsumsi dari logam domestik ke impor, dengan sedikit efek bersih pada permintaan baja.
Mungkin juga, pengetatan kredit bisa cukup drastis untuk menahan ledakan konstruksi yang terjadi di kota-kota China saat ini. Namun, taruhan yang lebih besar mungkin adalah bahwa permintaan kredit, konstruksi, dan tulangan tidak mulai menurun sampai mencapai puncak tahunan biasanya pada bulan Juni.
Jika pembuat kebijakan China benar-benar ingin mendinginkan harga bijih besi, mereka harus memastikan investor memiliki kesempatan investasi yang lebih menarik daripada real estat.