Bisnis.com, JAKARTA — Imbal hasil surat utang negara (SUN) Indonesia berpotensi kembali naik dalam jangka pendek—menengah, mengikuti tren obligasi Amerika Serikat.
Berdasarkan data Bloomberg per Rabu (17/3/2021), imbal hasil atau yield SUN Indonesia ada di level 6,75 persen, menguat 3 basis poin dari posisi hari sebelumnya. Yield SUN akhirnya menguat setelah berada dalam tren melemah dalam beberapa hari belakangan.
Tercatat, sepanjang bulan berjalan (month to date) yield SUN Indonesia telah melemah 14 basis poin dan jika ditarik sepanjang tahun berjalan (year to date) telah melemah 86 basis poin.
Baca Juga : Analis: Efek Lonjakan Imbal Hasil US Treasury Kali Ini Beda dengan Taper Tantrum 2013 |
---|
Yield obligasi domestik terus menanjak seiring yield obligasi AS alias US Treasury yang juga terus naik selama beberapa pekan belakangan. Pun, yield US Treasury diproyeksi akan kembali menguat jelang Federal Open Market Committee (FMOC) atau dewan rapat kebijakan bank sentral AS yang digelar malam nanti atau Rabu siang waktu AS.
VP Economist Permata Bank Josua Pardede mengatakan sentimen di pasar obligasi domestik jelang FOMC cenderung mixed atau bervariatif karena di tengah yield US Treasury yang kemarin naik, yield SUN malah turun alias menguat.
“Padahal kalau kita lihat dari sisi dolar menguat meski tipis, US Treasury masih agak naik, tapi kita malah menguat. Mungkin ini efek dari green shoe option yang digelar pemerintah hari ini,” tutur Josua ketika dihubungi Bisnis, Rabu (17/3/2021)
Seperti diketahui, hari ini pemerintah menggelar green shoe option atau lelang SUN tambahan dikarenakan penyerapan lelang pada Selasa (16/3/2021) kemarin belum memenuhi target. Adapun pada lelang tambahan hari ini pemerintah menyerap Rp9,10 triliun.
Josua menilai para pelaku pasar menantikan sinyal dari The Fed mengenai kemungkinan naiknya suku bunga acuan di AS lebih cepat dari rencana semula atau sebelum 2023 serta prediksi mengenai inflasi AS yang bisa menyentuh 2 persen tahun ini.
Namun, Josua menyebut proyeksi atas respons pasar masih samar. Pasalnya, apapun hasil FOMC, pelaksanaan perubahan suku bunga tetap tidak akan terjadi dalam waktu dekat sehingga respons pasar juga akan dipengaruhi data ekonomi lain.
“Kita lihat US Treasury sebagai patokannya, kalau [selepas hasil FOMC] dia naik sampai tembus 1,7 persen, yield kita bisa ikut naik di atas 6,8 persen karena memang sekarang trennya naik-naik terus,” tutur Josua.