Bisnis.com, JAKARTA Harga beberapa komoditas telah bergerak mendekati harga tertinggi menyusul tren peningkatan permintaan sebagia dampak dari pemulihan ekonomi. Akankah kenaikan harga ini bakal menjadi ulangan dari periode supercycle?
Goldman Sachs dalam laporannya menyebut telah melihat ada tren kenaikan harga komoditas pada 2021 setelah resesi hebat pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Harga komoditas terpacu oleh peningkatan permintaan yang ditopang oleh pemulihan ekonomi. Perekonomian diramal pulih sejalan dengan vaksinasi di berbagai negara.
Tidak mengherankan jika beberapa komoditas mulai merangkak naik bahkan menyentuh harga tertinggi. Misalnya saja harga komoditas minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) menuju 4.000/ ton Ringgit Malaysia, meskipun sempat terkoreksi.
Harga kontrak CPO pengiriman Mei yang aktif ditransaksikan di Bursa Malaysia Derivatif Exchange terkoreksi 0,66 persen, atau turun ke level 3.618/ton Ringgit Malaysia. Kenaikan harga juga terjadi pada si batu hitam, Harga kontrak futures batu bara termal ICE Newcastle kemarin ditutup menguat pada perdagangan Rabu (3/3/2021).
Harga kontrak batubara yang ditransaksikan di bursa berjangka naik 0,77 persen, tembus US$85,5/ton. Kenaikan tersebut membawa komoditas batubara kembali ke posisi tertinggi dalam tiga minggu terakhir.
Tak hanya itu, harga komoditas tembaga dan minyak dunia juga merangkak naik. Harga tembaga global berhasil menembus level US$9.000 per ton, posisi tertinggi sejak 2012. Pada pertengahan perdagangan pekan ini, harga tembaga bahkan sempat menyentuh level US$9.412 per ton.
Sementara, minyak mentah diperdagangkan di kisaran level US$61 per barel seiring dengan penantian pelaku pasar terhadap hasil dari pertemuan kebijakan penting OPEC+.
Baca Juga : Cuaca Buruk Bikin Harga Sawit Terus Melejit |
---|
Head of Investment Information Team Mirae Asset Sekuritas Roger MM menjelaskan periode supercycle bakal terjadi dalam jangka panjang. Pasalnya, lanjutnya, tidak semua komoditas mengalami kenaikan.
"Ini [supercycle] baru stadium awal saja. Jadi ini long term periode, kenaikan bisa terjadi dalam jangka panjang," katanya dalam Mirae Asset Media Day Kamis (4/3/2021).
Pada kondisi tersebut, menurutnya faktor yang paling berpengaruh adalah permintaan dari China. Pada 2007, China menjadi salah satu kunci yang mengangkat harga komoditas.
Kendati begitu, lanjutnya, ekonomi China saat ini belum terlalu kuat untuk mendorong terjadinya supercycle komoditas. Dia memaparkan periode masa jaya komoditas terjadi pada 2007-2011. Harga nikel mencapai puncaknya di 2007 pada level US$52.350/ton, harga timah pada level US$32.349/ton.
Pada periode yang sama, harga tembaga mencapai puncak di 2007 pada level US$9.840/ton, harga CPO pada level 3.972/ton Ringgit Malaysia dan harga batubara mencapai puncak pada 2008 di level US$180/ton.
"Untuk saat ini seperti batubara masih jauh dari peak 2007, minyak juga masih jauh dari peak US$140 ,jadi kami melihat [kenaikan] baru stadium awal," katanya.
Meski begitu, dia menilai pelaku bisnis sudah melihat hal tersebut menjadi kesempatan atau memanfaatkan momentum stadium awal untuk mendongkrak kinerja mereka. Dia menceritakan sejumlah emiten batubara optimistis supercycle dapat berlanjut meskipun pergerakanya tidak secepat periode 2007.
Sementara itu, Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony menilai melihat siklus dengan kebijakan moneter serta stimulus yang diberikan dapat memberikan harapan bahwa komoditas supercycle dapat kembali terjadi.
"Ditambah lagi dengan data PMI China yang naik berdampak positif terhadap sektor komoditas, tetapi yang perlu diperhatikan adalah demand dari komoditas juga perlu diperhitungkan," katanya.