Bisnis.com,JAKARTA – Kinerja dagang tak solid di Indonesia menjadi sorotan harian Bisnis Indonesia edisi Selasa (16/2/2021).
Tak ketinggalan kabar dari upaya pemerintah mengebut ratifikasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Emiten otomotif juga semringah menyusul relaksasi pajak pada kendaraan tertentu.
Berikut beberapa rincian isu-isu terkini seputar perekonomian di Indonesia:
- Kinerja Dagang Tak Solid
Kinerja perdagangan Indonesia kembali gemilang pada Januari 2021 dengan surplus neraca transaksi perdagangan US$1,96 miliar. Performa itu di dukung kenaikan ekspor 12,24% year-on-year (yoy) menjadi US$15,3 miliar, sedangkan impor turun 6,49% yoy menjadi US$13,34 miliar. Akan tetapi, penurunan impor dinilai belum solid untuk pemulihan ekonomi domestik karena masih sulit diatasi.
- Pemerintah Kebut Ratifikasi RCEP
Ratifikasi perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) ditargetkan kementerian Perdagangan rampung di semester I/2021. RCEP membuka peluang meningkatkan ekspor produk-produk bernilai tambah. Selain itu, perjanjian ini setara dengan US$26 triliun jika mengacu kepada total PDB 15 negara yang tergabung di dalamnya atau 28% dari nilai perdagangan dunia 2019.
- Emiten Otomotif Semringah
Dampak Diskon Pajak Mobil buat emiten sektor otomotif dan komponennya menyusun strategi guna menangkap potensi kenaikan penjualan. Di prediksi akan terjadi lonjakan penjualan kendaraan roda empat dengan diberlakukannya PPnBM ditanggung pemerintah.
- Investor Terus Meningkat, Sekuritas Pasang Target Kuat
Rata-rata nilai transaksi harian yang tercatat di Bursa Efek Indonesia pada awal 2021 meningkat pesat dari tahun lalu. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia hingga 5 Februari 2021, rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) sempat menyentuh Rp20,02 triliun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari kisaran Rp9,21 triliun pada RNTH 2020.
- Daya Pungut Benjut
Realisasi penerimaan pajak pada tahun lalu tercatat mencapai Rp1.070 triliun, turun sebesar 19,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Elastisitas antara penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi (tax buoyancy) pada tahun lalu mencapai 7,8. Artinya, setiap 1% kontraksi ekonomi nasional menghasilkan kontraksi penerimaan pajak sebesar 7,8%. Angka tersebut mengonfirmasi bahwa di saat perekonomian turun, penerimaan pajak justru makin elastis.