Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lo Kheng Hong, Pagebluk, dan Prospek Sektor Penerbangan

Lo Kheng Hong menegaskan bursa saham itu tidak kenal ampun sehingga sangat tidak disarankan ketika membeli saham yang tidak diketahui fundamentalnya. Untuk itu, investor juga perlu tahu sektor usaha mana yang prospektif maupun yang tengah suram.
Pesawat Garuda bermasker
Pesawat Garuda bermasker

Bisnis.com, JAKARTA - Dunia pasar modal Indonesia cukup semarak di awal tahun, mulai dari kemunculan influencer hingga fenomena auto reject bawah pada sekelompok saham. Tidak hanya memilih saham yang tepat, memilih bidang usaha yang menjanjikan juga perlu dipahami para investor.

Bursa Efek Indonesia (BEI) baru saja meluncurkan klasifikasi sektor baru, yaitu  IDX Industrial Classification (IDX-IC) yang membagi 700 emiten ke dalam 12 sektor.  Setiap sektor, punya prospek dan risiko masing-masing tergantung bagaimana iklim usaha di setiap bidang.

Investor kawakan Lo Kheng Hong punya wejangan kepada para investor pemula soal pemilihan sektor yang tepat. Meski terlihat sederhana, pemilihan sektor perlu diperhatikan mengingat per Januari 2021, jumlah investor ritel di bursa sudah mencapai 4 juta Single Investor Identification (SID).

Dia juga menegaskan bahwa bursa saham itu tidak kenal ampun, sehingga sangat tidak disarankan ketika membeli saham yang tidak diketahui fundamentalnya. Sekali salah pilih bisa berujung penyesalan di kemudian hari.

Investor terkemuka ini pun memberikan saran untuk memilih emiten-emiten yang jujur, berintegritas serta pilihlah bidang usaha yang baik. Bidang usaha yang baik tergantung pada kondisi iklim usaha yang dihadapi ; bisa berjaya, bisa juga merana.

"Jangan membeli perusahaan yang dikelola tidak jujur dan tidak berintegritas, jangan pernah sentuh, ingat itu nomor 1," imbuhnya dalam diskusi virtual yang digelar KBRI Singapura, Senin (18/1/2021). 

Pak Lo, begitu Lo Kheng Hong disapa mengungkapkan, saat ini salah satu sektor yang terpuruk dan sebaiknya dihindar adalah penerbangan. Dia memberikan gambaran kinerja PT Garuda Indonesia (Perseo) Tbk. 

Dia tidak memiliki masalah dengan emiten bersandi GIAA tersebut, tetapi secara bidang usaha maskapai nilainya bidang yang kurang baik.

"GIAA tahun 2017 itu rugi US$213 juta, itu tidak ada pandemi pada 2017. Tiket paling mahal, penumpangnya banyak, tapi rugi perusahaan US$213 juta dolar," terangnya.

Adapun pada 2018, GIAA kembali merugi US$175 juta. Pada 2019 pertama lapor untung US$6,98 juta. Ketika memasuki pandemi, catatan kuartal III/2020, GIAA mengalami kerugian hingga US$1,13 miliar.

"September 2020 sedang pandemi, Garuda rugi US$1 miliar, ya ampun rugi US$1 miliar. Tidak pandemi rugi, lagi pandemi babak belur, jadi jangan membeli bidang usaha tidak bagus," katanya.

Investor saham yang dijuluki Warren Buffet Indonesia Lo Kheng Hong memaparkan materinya pada acara Mega Talkshow Investasi 2020 di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Sabtu (7/3/2020). Bisnis - Rachman
Investor saham yang dijuluki Warren Buffet Indonesia Lo Kheng Hong memaparkan materinya pada acara Mega Talkshow Investasi 2020 di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Sabtu (7/3/2020). Bisnis - Rachman

Investor saham yang dijuluki Warren Buffet Indonesia Lo Kheng Hong memaparkan materinya pada acara Mega Talkshow Investasi 2020 di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Sabtu (7/3/2020). Bisnis - Rachman

Prospek Industri Penerbangan

Jika Warren Buffet-nya Indonesia ini menyebut sektor penerbangan merupakan sektor yang buruk, setidaknya, di Indonesia hanya ada dua emiten yang bidang usahanya berupa angkutan udara, yakni GIAA dan PT. AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) yang sahamnya terkena suspensi.

Dalam laporan keuangan per September 2020 yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia, manajemen Garuda Indonesia menyampaikan pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kinerja perseroan hingga akhirnya membukukan kerugian setara Rp16,03 triliun.

"Dan [2020] menjadi tahun yang terburuk sepanjang sejarah bisnis airlines," papar manajemen Garuda Indonesia, dikutip Bisnis, Jumat (6/11/2020).

Sesungguhnya, tidak hanya Garuda Indonesia yang babak belur.  Ambil contoh di negara lain, Cathay Pacific Airways Ltd maskapai asal Hongkong ini melaporkan kerugian HK$ 9,87 miliar atau setara US$ 1,27 miliar pada paruh pertama karena pandemi. Analis memperkirakan rata-rata kerugian setahun penuh sebesar HK$ 18,3 miliar atau sekitar US$2,5 miliar.

Kerugian paruh kedua 2020 diperkirakan jauh lebih tinggi daripada rekor kerugian paruh pertama, didorong oleh permintaan yang rendah, biaya restrukturisasi dan penurunan armada pesawat.

Laporan terpisah datang dari Singapore Airlines yang melaporkan kerugian bersih Sin$3,46 miliar setara US$ 2,57 miliar hingga kuartal III/2020, karena pandemi Covid-19 yang terus menguras permintaan perjalanan internasional.

Maskapai ini mengalami kerugian bersih sebesar Sin$ 2,34 miliar selama tiga bulan Juli hingga September 2020, hasil kuartalan terburuk yang pernah ada, menyusul kerugian bersih SG$ 1,12 miliar pada kuartal April 2020 hingga Juni 2020.

Suasana sepi terlihat di Terminal IA Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (24/4/2020). Bisnis - Eusebio Chrysnamurti
Suasana sepi terlihat di Terminal IA Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (24/4/2020). Bisnis - Eusebio Chrysnamurti

Suasana sepi terlihat di Terminal IA Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (24/4/2020). Bisnis - Eusebio Chrysnamurti

Berdasarkan Laporan Kinerja Ekonomi Industri Airlines Global periode Juni 2020 yang dipublikasikan oleh IATA, kerugian bersih industri airlines global akibat pandemi sebesar US$84,3 miliar.

Prediksi tahun penuh 2020, maskapai di Asia-Pasifik akan mengalami kerugian rata-rata per penumpang mencapai US$30,1, rugi bersih setelah pajak US$29 miliar, dan marjin bersih negatif 22,5 persen.

Selama krisis akibat pandemi Covid-19, pemerintah di seluruh dunia turut berperan dalam memberikan bantuan keuangan kepada airlines agar dapat mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Sampai dengan Mei 2020, beberapa airlines telah menerima bantuan pemerintah sebesar US$123 miliar.

Di lain pihak, Garuda Indonesia mengakui kinerja perseroan tertekan tahun lalu. Namun, sejumlah inisiatif ditempuh untuk menekan biaya, terutama negosiasi dengan lessor. Perseroan juga telah mendapat suntikan dana segar dari pemerintah lewat mekanisme penerbitan obligasi wajib konversi (OWK).

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menjelaskan sepanjang menghadapi pandemi ini, GIAA telah mengalami peningkatan jumlah penumpang dan pendapatan, serta penghematan dari sisi pengeluaran dan biaya.

"Saya juga sampaikan, kami berhasil negosiasi dengan lessor dan penghematan ini mendekati US$15 juta dalam sebulan. Kami menghemat US$172 juta dalam setahun. Ini akan ada implikasi di 2021," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper