Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak sawit terus menguji untuk menembus ke atas level 3.000 ringgit per ton, level yang sudah tidak dikunjungi komoditas andalan Indonesia itu hampir sembilan bulan terakhir.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Selasa (15/9/2020) harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) di bursa Malaysia untuk kontrak November 2020 hingga pukul 16.32 WIB berada di level 2.922 ringgit per ton, naik 1,04 persen atau 30 poin. Level itu merupakan level tertinggi sejak 23 Januari 2020.
Pada perdagangan sebelumnya, harga CPO berhasil ditutup menguat 2,88 persen. Dengan demikian, sepanjang pekan ini saja harga telah naik 3,8 persen, sedangkan sepanjang tahun berjalan 2020 harga masih terkoreksi 3,39 persen.
Manajer Penjualan dan Broker Phillip Futures Kuala Lumpur Marcello Cultrera mengatakan bahwa pasar CPO tampak masih optimistis permintaan akan naik hingga 12,5 persen untuk periode 1-15 September 2020.
Optimisme itu terutama didukung oleh meningkatnya minat beli China karena negara konsumen utama dunia itu tengah berusaha mengisi kembali cadangannya untuk memenuhi permintaan domestik yang lebih tinggi.
Berdasarkan data AmSpec Agri, ekspor minyak sawit dari Malaysia naik 12,4 persen dari bulan sebelumnya menjadi 780.305 ton selama 1-15 September.
Baca Juga
“Harga dapat mencapai kisaran yang lebih tinggi dari 2.950 hingga 3.050 ringgit per ton pada akhir bulan ini,” ujar Cultrera seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (15/9/2020).
Kendati demikian, Cultrera menjelaskan bahwa adanya prospek peningkatan produksi dapat berdampak negatif pada harga, terutama dari Malaysia. Pasar diyakini akan terus memantau data produksi dari Malaysian Palm Oil Association.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan mencatat bahwa produksi CPO Malaysia periode Agustus meningkat 3,1 persen dari bulan lalu menjadi 1,9 juta ton.
Sementara itu, persediaan CPO Malaysia periode Agustus relatif datar di 1,7 juta ton, sedangkan konsensus memperkirakan persedian akan naik sebesar 4,7 persen dari bulan sebelumnya.
“Secara keseluruhan, kami memperkirakan bahwa harga CPO global akan diperdagangkan terbatas, mengingat kurangnya katalis positif,” ujar Andy seperti dikutip dari publikasi risetnya, Selasa (15/9/2020).
Senada, analis Fitch Ratings, termasuk Akash Gupta, dalam riset terbarunya memperkirakan bahwa harga CPO akan turun dalam beberapa bulan ke depan karena kondisi cuaca yang membaik akan mendukung hasil dan output produksi.
“Hasil panen kemungkinan akan menguat pada semester II/2020, secara bertahap pulih karena curah hujan yang lebih sejak akhir tahun setelah perkebunan dilanda kekeringan pada tahun lalu,” ujar Gupta seperti dikutip dari publikasi risetnya.
Faktor La Nina
Namun, Fitch Ratings juga memperingatkan harga CPO mungkin akan tetap kuat jika pola cuaca La Nina memperburuk produksi.
Untuk diketahui, fenomena cuaca, La Nina, diprediksi akan kembali menghampiri dunia pada paruh kedua tahun ini mulai dari Asia Tenggara hingga Amerika Selatan. Fenomena itu pun diyakini akan menjadi sentimen utama pergerakan harga dalam beberapa perdagangan ke depan.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan anomali cuaca La Nina akan menghampiri Indonesia sehingga sejumlah wilayah di Indonesia berpotensi mengalami peningkatan curah hujan mulai Oktober 2020.
Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) dalam risetnya pada Juli 2020 lalu menyebutkan, adanya fenomena La Nina akan mengurangi prospek kenaikan produksi sawit di Indonesia. Potensi banjir akibat La Nina akan memberikan gangguan yang berarti pada perkebunan sawit di Indonesia.
Adapun, CPOPC memperkirakan produksi CPO Indonesia pada tahun ini akan turun hingga 2 juta ton di bawah capaian tahun lalu yang mencapai 44 juta ton.
Sementara itu, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun mengatakan bahwa curah hujan yang sedang akibat La Nina bisa bermanfaat untuk perkebunan sawit. Namun, apabila curah hujan meningkat drastis dan mengarah ke ekstrem, maka produksi CPO akan terganggu.
Menurutnya, curah hujan pada September tahun ini tidak akan sebaik biasanya sehingga kemungkinan akan membatasi pertumbuhan pasokan. September biasanya menyumbang sekitar 10 persen dari produksi tahunan di Indonesia.
“Namun, jika pada sisa tahun curah hujan meningkat drastis dan cenderung ekstrim akibat La Nina, maka akan menjadi pengganggu bagi produksi kita,” katanya.