Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Minyak Terus Uji Keluar dari Level US$42, Ini Sentimennya

Selain memantau pertemuan OPEC+ pekan ini, investor juga masih terpaku pada perkembangan hubungan AS-China.
Rangkaian kereta pengangkut minyak mentah, bahan bakar, dan gas cair dalam posisi miring di stasiun kereta Yanichkino, menuju ke kilang Gazprom Neft PJSC Moscow di Moskow, Rusia/Bloomberg-Andrei Rudakov
Rangkaian kereta pengangkut minyak mentah, bahan bakar, dan gas cair dalam posisi miring di stasiun kereta Yanichkino, menuju ke kilang Gazprom Neft PJSC Moscow di Moskow, Rusia/Bloomberg-Andrei Rudakov

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak masih berupaya untuk menembus ke atas area level US$42 per barel menjelang pertemuan OPEC+ yang direncanakan digelar pada pekan ini untuk membahas kesepakatan pemangkasan pasokan.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (17/8/2020) hingga pukul 11.24 WIB harga minyak jenis WTI untuk kontrak September 2020 di bursa Nymex bergerak menguat 0,81 persen atau 0,34 poin ke level US$42,35 per barel.

Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Oktober 2020 di bursa ICE naik 0,67 persen atau 0,3 poin ke level US$45,1 per barel.

Minyak secara perlahan bergerak lebih tinggi setelah tertahan di dekat US$40 per barel sejak awal Juni menyusul rebound cepat dari penurunan hingga ke harga negatif.

Namun, pasar juga tampak masih menghadapi hambatan termasuk meningkatnya kasus positif Covid-19 di seluruh dunia dan ketegangan antara AS-China, yang dapat menggagalkan pemulihan permintaan yang baru muncul.

Sementara itu, Founder Vanda Insight Singapura Vandana Hari mengatakan bahwa fokus utama investor saat ini tertuju pada pertemuan The Joint Ministerial Monitoring Committee, panel yang meninjau perjanjian OPEC+, yang direncanakan digelar pada pekan ini.

Pasar akan mengawasi secara ketat bagaimana kelompok produsen itu menangani masalah produksi berlebih dari Nigeria dan Irak yang terus-menerus terjadi, walaupun diperkirakan tidak akan berdampak besar pada sentimen pasar.

Untuk diketahui, OPEC dan sekutunya telah sepakat pada pertemuan Juli lalu  untuk melonggarkan kebijakan pemangkasan produksinya seiring dengan permintaan yang diyakini mulai pulih.

Koalisi 23 negara yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia itu akan menambahkan masing-masing sekitar 1 juta barel per hari dari kapasitas produksinya yang akan dimulai pada Agustus.

Dengan demikian, secara kumulatif aliansi itu akan memangkas masing-masing sekitar 7,7 juta barel per hari pada Agustus, setelah memangkas produksi sekitar 10 juta barel per hari selama tiga bulan berturut-turut untuk menstabilkan pasar dan mendukung harga minyak.

“Dengan demikian, untuk saat ini, tidak banyak yang mendukung kenaikan minyak mentah selain dolar AS yang melemah dan aksi beli yang ramai karena harga masih murah,” ujar Hari seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (17/8/2020).

Senada, Tim Analis Monex Investindo Futures mengatakan bahwa harga minyak mentah berpotensi bergerak menguat dalam jangka pendek di tengah sentimen pelemahan greenback dan menurunnya aktivitas rig AS dalam laporan Baker Hughes akhir pekan lalu.

Namun, jika pasar mencemaskan melambatnya permintaan seperti yang diproyeksikan International Energy Agency (IEA) pada pekan lalu, maka kenaikan berpeluang terbatas dan dapat berbalik melemah.

Untuk diketahui, IEA memangkas perkiraan permintaan minyak global untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, karena jumlah infeksi Covid-19 tetap tinggi dan melesunya sektor penerbangan.

Lembaga itu memperkirakan permintaan minyak global pada 2020 berada di kisaran level 91,1 juta barel per hari (bph) atau turun 8,1 juta bph secara tahunan.

Perkiraan yang direvisi ini juga lebih rendah 140.000 bph dari proyeksi IEA sebelumnya.

“Untuk sisi atasnya, level resisten terdekat berada di US$42,6 per barel, menembus ke atas dari level tersebut berpotensi memicu kenaikan lanjutan ke level US$43,1 per barel sebelum membidik resisten kuat di US$43,8 per barel,” ungkapnya.

Sebaliknya, jika bergerak turun, level support terdekat harga minyak berada di US$42 per barel dan menembus ke bawah dari level tersebut berpeluang memicu penurunan lanjutan ke US$41,50 sebelum mengincar support kuat di US$40,7 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper