Bisnis.com, JAKARTA - Emiten tambang logam berpelat merah PT Timah Tbk. telah membayar utang perseroan hingga Rp2 triliun sepanjang tahun berjalan 2020. Pembayaran utang merupakan salah satu strategi perseroan untuk menyehatkan kinerja keuangannya tahun ini.
Sekretaris Perusahaan PT Timah Abdullah Umar mengatakan perseroan telah melakukan beberapa upaya untuk membuat kinerja keuangannya yang dalam tekanan pada tahun lalu kembali prima.
“Kami tengah berupaya mengoptimalkan arus kas untuk menjaga kesehatan posisi keuangan sekaligus mengurangi beban bunga. Kami akan mengurangi total utang jangka pendek secara bertahap, dan saat ini pun posisi utang jangka pendek sudah turun Rp2 triliun,” ujar Umar saat dihubungi Bisnis, Kamis (15/4/2020).
Untuk diketahui, kondisi utang jangka pendek perseroan per 31 Desember 2019 sebesar Rp11,95 triliun, jauh lebih besar dibandingkan dengan utang jangka panjang, yaitu sebesar Rp3,14 triliun. Akibatnya, perseroan pun melanggar beberapa ketentuan perjanjian pinjaman dengan kreditur pada tahun lalu.
Umar mengatakan perseroan saat ini juga tengah melakukan efisiensi di semua lini produksi untuk menekan beban produksi dan beban usaha perseroan. Pada pos beban bahan baku, misalnya, telah dicapai kesepakatan dengan pihak ketiga untuk kompensasi yang lebih ekonomis.
Adapun, pos beban bahan baku perseroan pada 2019 mengalami kenaikan hingga 88,4 persen menjadi Rp13,56 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp7,19 triliun.
Baca Juga
Selain itu, TINS juga melakukan pemangkasan produksi sekitar 20-30 persen dari target produksi bulanan untuk efisiensi produksi juga untuk membantu menstabilkan harga timah global.
Hal tersebut dilakukan mengingat perseroan memiliki andil yang cukup besar dalam perdagangan timah global karena resmi menjadi produsen timah terbesar dunia pada tahun lalu mengalahkan Yunan Tin.
Pada perdagangan Rabu (15/4/2020), harga timah di bursa London parkir di level US$15,093 per ton, terkoreksi 2,35 persen. Harga itu pun sangat jauh berbeda dengan rata-rata harga timah pada 2019 di kisaran level US$18.569 per ton.
Namun, Umar menjelaskan penurunan harga timah saat ini masih dapat diatasi oleh perseroan karena terjadi seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah sehingga kinerja perseroan yang sekitar 95 persen merupakan ekspor tetap terjaga.
Di sisi lain, perseroan juga akan mengubah strategi penjualan, selektif terhadap cadangan yang berkadar tinggi dan cadangan utama, serta efisiensi dan prioritas anggaran belanja modal.
Umar mengatakan bahwa perseroan saat ini akan lebih fokus untuk menyiapkan smelter baru dengan teknologi Ausmelt yang lebih efisien dari sisi biaya produksi dan proses pengolahannya. Proyek smelter ausmelt itu pun ditargetkan dapat beroperasi pada 2021.
Direktur Utama PT Timah Riza Pahlevi berharap proyek smelter Ausmelt dapat selesai tepat waktu. Proyek ini disebut bakal memberikan beraga benefit bagi perseroan.
“Smelter ini akan memberikan PT Timah Tbk keunggulan kompetitif berupa monetisasi cadangan bijih timah dengan grade yang lebih rendah serta biaya produksi yang lebih efisien dan lebih ramah lingkungan,” ujarnya.