Bisnis.com, JAKARTA – Rencana penambalan defisit APBN yang melebar melalui pasar Surat Berharga Negara (SBN) diperkirakan dapat berjalan efektif asalkan cost of fund dan tingkat imbal hasil yang ditawarkan dapat dijaga dengan baik
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan, prospek penyerapan emisi SBN untuk menutupi defisit masih cukup baik, mengingat minat investor terhadap obligasi Indonesia yang masih terjaga ditengah ketidakpastian global saat ini.
Selain itu, pasar obligasi Indonesia juga masih memiliki tingkat likuiditas yang cukup tinggi. Hal ini diperkirakan menambah keyakinan investor untuk kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia sehingga aliran modal asing (capital inflow) pun dapat kembali mengalir.
“Apalagi, imbal hasil [yield] obligasi Indonesia seri benchmark juga menyentuh angka 8 persen. Ini akan semakin menambah daya tarik obligasi Indonesia di mata investor,” katanya saat dihubungi pada Kamis (2/4/2020) di Jakarta.
Kendati demikian, dia mengingatkan halangan utama yang akan dihadapi kebijakan ini adalah cost of fund yang tinggi. Dia mengatakan, potensi kenaikan cost of fund akan menaruh beban yang semakin besar pada anggaran pemerintah.
Ramdhan melanjutkan, dalam upaya memulihkan perekonomian Indonesia dari pandemi virus corona, penerimaan dari berbagai sektor, seperti perpajakan, dipastikan akan terganggu. Hal ini karena pemerintah memberikan sejumlah paket stimulus fiskal untuk mendorong perekonomian.
Baca Juga
“Saat ini, cost of fund dari obligasi sedang tinggi karena volatilitas pasar yang juga tinggi. Pemerintah perlu menyesuaikan cost of fund dengan kebutuhannya agar tidak terganggu,” katanya.
Semakin Semarak
Secara terpisah, Head of Economics Research Pefindo Fikri C. Permana menuturkan, prospek penyerapan SBN juga akan kian semarak. Hal ini didukung dengan diperbolehkannya Bank Indonesia (BI) dan kemungkinan beberapa jenis investor lain untuk masuk ke pasar primer atau lelang.
Menurut Fikri, kebijakan ini akan menimbulkan katalis positif kepada para investor asing yang hendak masuk ke Indonesia. Masuknya investor lain, terutama BI, akan mampu memberikan kepercayaan kepada pasar.
Fikri menambahkan, apabila pemerintah berniat menambal defisit APBN melalui emisi SBN, mereka perlu menjaga tingkat imbal hasil yang ditawarkan pada lelang ke depannya. Hal ini agar cashflow pemerintah pada APBN di masa depan tidak terganggu dan struktur utang tetap terjaga dengan proporsional.
Data dari World Government Bonds pada Kamis (2/4/2020) menyatakan, tingkat yield obligasi Indonesia dengan tenor 10 tahun berada di angka 7,969 persen. Angka ini telah menunjukkan penurunan sebesar 25,2 basis poin dalam periode 1 minggu dengan torehan tertinggi terjadi pada 26 Maret 2020 lalu di posisi 8,36 persen.
“Selain emisi SBN, pinjaman dari pihak lain, khususnya lembaga donor seperti Bank Dunia, IMF, dan lainnya juga dapat menjadi opsi lain untuk pemerintah,” tambahnya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan memastikan pelebaran defisit anggaran dalam APBN 2020 akan mencapai 5,07 persen terhadap Produk Domestik Bruto.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan pelebaran defisit ini disebabkan oleh penurunan di sisi penerimaan negara, baik penerimaan migas, pajak dan PNBP akibat merebaknya COVID-19.
Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Salah satu poin dalam ketentuan tersebut adalah memperbolehkan Bank Indonesia menyerap Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana guna menambal defisit APBN 2020 di tengah tekanan wabah corona.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan bank sentral kini dapat menyerap SBN dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana.
"Bukan first lender, tetapi last lender," ujar Perry, Rabu (1/4/2020).
Jika pasar tidak bisa menyerap kebutuhan SBN atau SBSN - baik jumlahnya atau ketika suku bunganya terlalu tinggi - BI akan siap menyerap surat berharga tersebut.
Dalam kondisi normal, Perry melihat ketentuan dalam UU Bank Indonesia tidak dimungkinan bank sentral membeli surat utang melalui pasar perdana. Namun, hal ini dikecualikan dalam kondisi saat ini.
"Menkeu dan saya, BI, sebagai last resort agar pasar tidak melonjak tinggi dan stabilitas makroekonomi dan inflasi tetap terjaga," kata Perry.