Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Jepang jeblok lebih dari 5 persen pada akhir perdagangan hari ini, Senin (9/3/2020), tertekan oleh lonjakan nilai tukar yen akibat kekhawatiran wabah virus corona (Covid-19) yang menjalari pasar finansial global.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks Topix berakhir di level 1.388,97, level terendah sejak November 2016, dengan penurunan tajam 5,61 persen atau 82,49 poin dari level 1.471,46 pada penutupan perdagangan Jumat (6/3/2020).
Dengan demikian, Topix telah melemah sekitar 20,5 persen dari puncak yang dicatatkannya pada Desember 2019. Sebanyak 31 saham menguat, 2.132 saham melemah, dan 3 saham stagnan dari 2.156 saham yang diperdagangkan pada Topix.
Saham SoftBank Group Corp. dan Mitsubishi UFJ Financial Group yang melorot 10,43 persen dan 11,28 persen masing-masing menjadi penekan utamanya.
Sejalan dengan Topix, indeks Nikkei 225 ditutup di level 19.698,76 dengan pelemahan tajam 5,07 persen atau 1.050,99 poin, setelah berakhir di level 20.749,75 pada Jumat (6/3). Untuk pertama kalinya sejak Januari 2019, Nikkei tergelincir dari level kunci 20.000.
Dari 225 saham yang diperdagangkan pada indeks Nikkei pada Senin (9/3), hanya 4 saham yang mampu naik, sedangkan 221 saham lainnya melemah.
Baca Juga
Saham SoftBank Group Corp. yang merosot 10,43 persen turut menjadi penekan utama Nikkei, bersama dengan saham Fast Retailing Co. Ltd. yang turun 3,01 persen.
“Pasar turun 20 persen dari puncaknya dan ini mungkin bisa menandakan perubahan tren yang lebih besar,” ujar Norihiro Fujito, kepala strategi investasi di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities Co., Tokyo.
Sebaliknya, nilai tukar yen, aset safe haven yang kerap diburu investor kala dilanda kekhawatiran, melonjak 2,88 persen atau 3,03 poin ke level 102,32 yen per dolar AS pada pukul 14.14 WIB, apresiasi hari ketiga berturut-turut.
Kekhawatiran akan dampak ekonomi dari wabah virus corona meningkat ketika epidemi corona telah mencapai ke sekitar separuh dari total jumlah negara-negara dunia.
Data Kantor Kabinet yang dirilis Senin (9/3) menunjukkan Produk Domestik Bruto menyusut 7,1 persen pada kuartal IV/2019 secara year-on-year, lebih rendah dibandingkan estimasi ekonom dalam survei Bloomberg yang memperkirakan penurunan 6,6 persen dan proyeksi pemerintah sebesar 6,3 persen.
Penurunan pengeluaran konsumen setelah kenaikan pajak penjualan dan turunnya investasi bisnis dari perkiraan awal menjadi penyebab menyusutnya PDB pada kuartal terakhir 2019 tersebut. Ini juga merupakan kontraksi paling tajam sejak kenaikan pajak sebelumnya pada tahun 2014.
Lemahnya data ekonomi Jepang menunjukkan kerapuhan ekonomi bahkan sebelum penyebaran virus corona menghantam rantai pasokan dan menekan pengeluaran konsumen yang sudah lemah akibat kenaikan pajak.
Semakin banyak analis yang memperkirakan ekonomi akan terus menyusut pada kuartal I/2020. PM Abe diperkirakan akan mengumumkan langkah-langkah ekonomi darurat untuk menghadapi krisis akibat Covid-19, meskipun belum ada penjelasan lebih teperinci mengenai jenis stimulus tersebut.
“Ekonomi Jepang kemungkinan akan berkontraksi pada kuartal Maret karena virus ini, dan saya tidak berpikir situasinya akan berakhir pada Maret,” lanjut Fujito.
“Jika Olimpiade dibatalkan atau diadakan tanpa penonton, itu artinya dampak ekonomi positif dari perkiraan sebesar 20 triliun yen akan hilang. Dan pasar mulai melihat risiko itu,” tambahnya, dikutip dari Bloomberg.