Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mata Uang Brasil Menguat, Harga Kopi Mulai Menghangat

Harga kopi global menghangat, menyusul penguatan mata uang real Brasil dan perkiraan musim hujan yang menghambat panen di negara produsen terbesar produk agrikutlur tersebut.
Kopi/Bisnis.com
Kopi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA – Harga kopi global menghangat, menyusul penguatan mata uang real Brasil dan perkiraan musim hujan yang menghambat panen di negara produsen terbesar produk agrikutlur tersebut.

Berdasarkan data Bloomberg, harga kopi Arabika di Intercontinental Exchange (ICE) ditutup tumbuh 4,32% atau 4,45 poin pada level US$107,45 per pon, Selasa (25/6/2019).

Dari awal tahun (year to date), harga kopi telah menguat 4,52%, sedangkan dalam 30 hari terakhir sudah melonjak 14,09%. Namun perolehan tersebut, masih jauh dari level tertingginya dalam 5 tahun terakhir, yaitu US$220,40 per pon pada 2015.

Mengutip Bloomberg, Rabu (26/6/2019), Rodrigo Costa, Direktur Comexim, eksportir kopi Brasil, mengatakan bahwa harga kopi berjangka Arabika telah memperpanjang kenaikan ke level tertinggi sejak Februari lalu, setelah real Brasil menguat beberapa hari lalu.

Data Bloomberg menunjukkan, real Brasil ditutup menguat 0,46% atau 0,0176 poin menjadi 3,8222 real per dolar AS, Jumat (21/6/2019). Sementara itu, pada perdagangan Selasa (25/6/2019), real ditutup stabil -0,62% atau 0,0238 poin menjadi 3,8488 real per dolar AS.

Kondisi tersebut membuat komoditas itu rebound, karena real yang lebih kuat mengurangi daya tarik ekspor kopi dari produsen utama dunia tersebut.

Untuk diketahui, mengutip insight.abnamro.nl, harga kopi akan naik karena real Brasil yang kuat terhadap dolar. Mengingat sebagian besar kopi diperdagangkan dalam dolar di pasar internasional,  real yang lebih kuat membuat harga kopi kurang berharga.

Kondisi itu memberi insentif bagi para trader di Brasil untuk menjual lebih sedikit kopi di pasar internasional, guna mengantisipasi harga yang lebih tinggi. Akibatnya, ketersediaan kopi di pasar ekseternal turun, sehingga berdampak pada penguatan harga.

Selain itu, belakangan ini perhatian pasar juga tertuju pada perkiraan musim hunan di Brasil. Sebab situasi ini dapat memperlambat panen dan mengeringkan biji kopi. Sentimen ini pun menjadi penggerak harga kopi untuk menguat.

Jack Scoville, Wakil Presiden Price Futures Grup mengatakan, laporan menunjukkan bahwa hasil panen tidak terlalu kuat, dan kualitas tanaman buruk karena cuaca ekstrem terlihat pada awal musim tanam.

Di samping itu, produsen kopi lainnya, Vietnam juga melaporkan hasil panen yang lebih rendah untuk tanaman ini, karena cuaca tidak bersahabat untuk bunga kopi.

“Ada beberapa musim panas dan kering yang telah merusak hasil tanaman, serta kualitasnya,” katanya.

Masalah Tanaman Kopi

Sebagai informasi, seperti dikutip dari ottencoffee.co.id, musim hujan menjadi masalah bagi tanaman kopi, jika datangnya saat ceri kopi siap dipanen, karena bisa menyebabkan ceri-ceri kopi itu berguguran terbawa air hujan.

Masalah lainnya, bila ceri itu masih didahan, karena akan mengalami cracking berupa pengeringan atau keretakan. Penyebabnya karena kopi terlalu banyak menyerap air dengan cepat.

Di sisi lain, Organisasi Kopi Internasional (International Coffee Organization) melaporkan, rata-rata bulananan indikator komposit utama kopi turun menjadi US$93,33 per pon pada Mei 2019, 1,2% lebih rendah dibandingkan dengan April 2019.

Namun, dua pekan terakhir Mei terlihat pembalikan tajam dalam tren penurunan karena indikator komposit harian naik di atas US$100 per pon untuk pertama kalinya sejak 18 Februari 2019, pada 30 dan 31 Mei 2019. Masing-masing pada level US$101,17 sen per pon dan 103,25 sen per pon.

Sementara itu, pada April tahun ini, ekspor kopi dunia naik 4,6% menjadi 10,73 juta kantong (1 kantong setara 60 kilogram atau sekitar 130 pon) dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun sebelumnya. Sedangkan ekspor dalam 7 bulan pertama musim 2018/2019 mencapai 74,01 juta kantong, dibandingkan dengan 70,89 juta kantong pada periode yang sama sebelumnya.

Untuk permintaan telah tumbuh pada tingkat rata-rata 2,2% dalam 5 tahun terakhir. Namun, produksi global diperkirakan akan melampauinya dengan estimasi 3,41 juta kantong pada musim 2018/2019. Hal itu menjadikan tahun surplus kedua berturut-turut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dika Irawan
Editor : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper