Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah berhasil ditutup menguat pada perdagangan Jumat (10/5/2019) seiring indeks dolar AS yang melemah akibat data inflasi AS yang lebih rendah daripada ekspetasi pasar.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Jumat (10/5/2019) rupiah ditutup menguat 0,23 persen atau terapresiasi 34 poin di level Rp14.327 per dolar AS, menjadi mata uang dengan kinerja terbaik kedua di Asia setelah Thailand. Secara year to date, rupiah masih bergerak menguat 0,440 persen.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan 6 mata uang mayor lainnya bergerak melemah 0,03 persen menjadi 97,345.
Analis PT Monex Investindo Futures Ahmad Yudiawan mengatakan bahwa dolar AS tampak melemah meski di tengah ketegangan perdagangan AS dan China yang umumnya membuat greenback menjadi pilihan investor.
"Meski ekskalasi perang dagang AS dan China terjadi, ternyata belum mampu menopang penguatan dolar AS yang umumnya menjadi salah satu alternatif para investor di saat ketidakpastian geopolitik, sampai sesi Eropa dibuka pun dolar AS masih menunjukkan pelemahan," papar Yudi saat dihubungi Bisnis, Jumat (10/5/2019).
Tercatat PPI AS periode April hanya tumbuh 0,2 persen atau lebih rendah dari periode sebelumnya dan Core CPI AS periode April juga hanya tumbuh 0,1 persen atau lebih rendah dari ekspektasi pasar.
Walaupun demikian, sesungguhnya sepanjang pekan rupiah tercatat melemah 0,426 persen melawan dolar AS. Hal tersebut diakibatkan oleh panasnya kembali sengketa perdagangan antara dua negara ekonomi terbesar di dunia, yang diawali ancaman Presiden AS Donald Trump.
Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif impor China sebesar 25 persen dari sebelumnya 10 persen untuk barang-barang China senilai US$200 miliar. Ancaman tersebut direalisasikan pemerintah AS pada Jumat (10/5/2019) dan diperkirakan akan berdampak buruk bagi rupiah.
Ketidakpastian pasar akibat sentimen geopolitik tersebut, lanjut Yudi, akan menjadi katalis negatif bagi aset berisiko yang cenderung akan dihindari pasar, termasuk rupiah.
Efek eskalasi perang dagang juga akan merembet ke negara berkembang karena poros bisnis masih berasal dari China dan AS sehingga akan mengganggu ekspor dan impor negara berkembang tersebut.
Yudi mengatakan, penguatan rupiah kali ini juga terjadi akibat aksi ambil untung oleh para investor sehingga dia memprediksi rupiah akan diperdagangkan melemah pada pekan depan dengan kisaran Rp14.200 per dolar AS hingga Rp14.460 per dolar AS.
Di sisi lain, Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal I/2019 telah membebani pergerakan rupiah kali ini.
Bank Indonesia mencatat NPI surplus US$2,4 miliar dan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) adalah US$7 miliar atau 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Memang benar defisit transaksi berjalan lebih rendah ketimbang kuartal IV/2018 yang mencapai 3,6 persen dari PDB. Namun, dibandingkan dengan posisi yang sama tahun lalu, defisitnya membengkak karena pada kuartal I/2018 berada di 2,01 persen dari PDB," ujar Ibrahim kepada Bisnis.
Hal tersebut diindikasikan bahwa arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa masih belum memadai bahkan semakin menipis. Oleh karena itu, membuat kekuatan fondasi penopang rupiah berkurang sehingga ke depan mata uang Tanah Air kemungkinan masih akan cenderung melemah.
Pada perdagangan pekan depan Ibrahim memprediksi rupiah akan ditransaksikan di level Rp14.275 per dolar AS hingga Rp14.430 per dolar AS.