Bisnis.com, JAKARTA—Beban penambahan cukai yang lebih rendah dan turunnya harga komoditas cengkeh sejak tahun lalu diperkirakan tetap menjadi berkah bagi PT HM Sampoerna Tbk. pada tahun ini.
Adapun, emiten berkode saham HMSP tersebut mencetak kenaikan penjualan bersih pada 2018 sebesar 7,72% menjadi Rp106,74 trliun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp99,09 triliun.
Sementara itu, laba bersih HMSP juga tumbuh 6,85% secara tahunan menjadi Rp13,54 triliun dari posisi Rp12,67 triliun pada tahun sebelumnya.
Analis Maybank Kim Eng Janni Asman menyampaikan dalam riset terbarunya, katalis untuk mengerek kinerja HMSP dapat datang dari ekspansi margin laba sebelum pajak (EBIT) dan positifnya volume pertumbuhan didorong oleh hadirnya produk baru.
“Kami memperkirakan, average selling price (ASP) dari HMSP dapat meningkat sebesar 4% pada tahun ini ditopang oleh merek utama perseroan seperti A Mild dan 234, kendati beban penambahan cukai tetap lebih rendah,” katanya, dikutip Rabu (10/4/2019).
Bila dikombinasikan dengan penurunan harga cengkeh pada 2018 sebesar 7% secara tahunan, Janni memperkirakan, hal itu bisa menambah marjin EBIT perseroan sebanyak 200 bps dan pertumbuhan laba bersih setelah pajak (NPAT) sebesar 13% pada 2019.
Adapun, volume penjualan HMSP pada tahun lalu sebesar 0,1% atau lebih baik dari pertumbuhan volume industri sebesar -0,1% telah mendapat dorongan dari produk 234 dan beberapa produk barunya.
Produk-produk tersebut pun diperkirakan dapat menjadi mesin pertumbuhan total volume penjualan HMSP menjadi 1,1% secara tahunan pada tahun ini.
Janni menilai, performa memuaskan dari perseroan dalam hal produk baru, pergantian pola konsumsi pelanggan ke rokok hand-rolled, serta ketatnya regulasi untuk melawan penjualan rokok secara ilegal dapat menjadi penopang kinerja HMSP tahun ini.
Namun perlu pula diperhatikan beberapa risiko, seperti kenaikan beban cukai atau penambahan pajak baru bagi perusahaan rokok, meningkatnya harga bahan baku, dan isu keamanan konsumen yang dapat merusak brand dari perseroan.
Janni pun tetap merekomendasikan beli untuk HMSP dengan target harga sebesar Rp4.500.
Senada, Analis Deutsche Bank Raja Abdalla dan Gerry Harlan dalam risetnya menyebutkan bahwa saham HMSP masih layak beli dengan penopang utamanya adalah pemulihan pertumbuhan volume dan perbaikan potensi penjualan.
“[Hal itu] bisa membuat perusahaan mendapatkan 10% laba bersih dari CAGR [compound annual growth rate] pada 2018—2021 [dibandingkan dengan 9% pada 2015—2018],” Raja dan Gerry melalui risetnya.
Raja dan Gerry menilai, baru-baru ini perseroan telah meluncurkan ulang produk U Bold 12 menjadi Philip Morris (PM) Bold 12 untuk bersaing di segmen lower-value full-flavor.
Sebagai strategi, HMSP pun memasang harga produk tersebut sebesar Rp1.000 per batang, atau hampir sama dengan harga produk baru dari GGRM yaitu GG Move 12. Namun demikian, perseroan tetap harus membayar royalti ke usaha induknya Philip Morris International (PMI) karena menggunakan brand milik PM.
“Langkah ini dapat diterima, karena kompetisi mulai memanas di segmen lower-value full-flavor, seperti yang ditunjukkan oleh peluncuran produk GG Mover 12 dari GGRM dan LA Filtered 16 dari Djarum pada 2018,” kata Raja dan Gerry.
Adapun, keduanya mempertahankan target harga HMSP sebesar Rp4.500 per saham dengan rekomendasi beli.