Bisnis.com, JAKARTA -- MNC Sekuritas memperkirakan harga Surat Utang Negara (SUN) masih berpeluang naik pada perdagangan Selasa (2/4/2019), seiring optimisme para pelaku pasar global terhadap pembahasan sengketa dagang AS-China serta stabilnya nilai tukar rupiah.
Kepala Divisi Riset Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra mengatakan bahwa selain itu, dari faktor domestik diperkuat dengan adanya lelang penjualan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang akan dilaksanakan pada hari ini.
Pemerintah berencana melelang SBSN dengan target penerbitan senilai Rp8 triliun dari enam seri SBSN yang ditawarkan kepada investor. Dia memperkirakan pelaku pasar masih akan mencermati pelaksanaan lelang sebelum kembali melakukan transaksi di pasar sekunder.
"Dengan beberapa faktor pertimbangan di atas, harga SUN masih akan bergerak dengan kecenderungan mengalami kenaikan dalam jangka pendek, maka kami masih menyarankan SUN dengan tenor pendek dan menengah sebagai pilihan investasi," papar Made dalam riset harian, Selasa (2/4).
Selain itu, dia juga tetap menyarankan investor untuk mencermati arah pergerakan harga SUN di pasar sekunder dengan fokus pada pergerakan nilai tukar rupiah.
Adapun seri-seri yang menarik pada kondisi tersebut di antaranya adalah FR0069, FR0053, FR0061, FR0070, FR0056, dan FR0059.
Pada perdagangan Senin (1/4), harga SUN ditutup menguat di tengah sentimen pulihnya ekonomi China sehingga berdampak kepada nilai tukar rupiah yang cenderung menguat. Perubahan harga SUN mencapai 40 bps, dengan rata-rata kenaikan sebesar 9,2 bps sehingga berdampak terhadap turunnya imbal hasil hingga 7,4 bps.
Seluruh SUN seri acuan mengalami kenaikan harga antara 8-36 bps, mendorong penurunan yield antara 1,8-4,1 bps.
Kenaikan harga tertinggi didapati pada SUN seri acuan bertenor 15 tahun sebesar 36 bps, yang mendorong turunnya imbal hasil sebesar 4,1 bps ke level 8,028%. Untuk seri acuan tenor 20 tahun dan 10 tahun, harganya masing-masing naik 18 bps dan 13 bps sehingga berdampak terhadap penurunan imbal hasil masing-masing 1,7 bps ke level 8,112% dan 1,8 bps ke level 7,585%.
Adapun seri acuan dengan tenor 5 tahun mengalami kenaikan harga hingga 8 bps sehingga terjadi penurunan yield sebesar 2 bps ke level 7,102%.
Namun, harga SUN dengan denominasi dolar AS mengalami penurunan di keseluruhan seri acuannya. Hal ini terjadi di tengah melemahnya imbal hasil US Treasury.
Imbal hasil INDO24 dan INDO 29 mengalami kenaikan masing-masing sebesar 1,5 bps ke level 3,499% dan 3,2 bps ke level 3,897%, didorong terjadinya koreksi harga sebesar 7,1 bps dan 27 bps.
Adapun imbal hasil INDO44 dan INDO49 masing-masing meningkat 1,3 bps ke level 4,796% dan 0,8 bps ke level 4,669% setelah mengalami penurunan harga sebesar 22,2 bps dan 14,6 bps.
Pergerakan harga SUN ini terjadi di tengah sentimen positif semakin dekatnya proses damai dagang antara AS dan China. Hal ini didukung oleh data yang dirilis oleh Pemerintah China atas meningkatnya Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada periode Maret 2019 sebesar 2,64% ke level 50,5, dibandingkan 49,2 pada Februari 2019.
Angka tersebut menjadi prestasi tersendiri karena merupakan peningkatan terbesar sejak 2012. Dengan kenaikan tersebut, pelaku pasar lebih optimistis terhadap kondisi pasar saat ini, sehingga akan meningkatkan permintaan aset-aset berisiko di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Namun, tampaknya pada perdagangan kemarin, para investor masih menunggu diadakannya lelang hari ini. Volume perdagangan kemarin dilaporkan menurun bila dibandingkan dengan perdagangan sebelumnya, yakni Rp9,5 triliun dari 34 seri SUN yang diperdagangkan.
Volume perdagangan tertinggi didapati pada seri FR0078, yakni sebesar Rp2,01 triliun dari 47 kali transaksi. Diikuti SUN seri FR0068 dan FR0077, masing-masing sebesar Rp1,85 triliun dari 87 kali perdagangan dan Rp1,37 triliun dari 28 kali transaksi.
Pada sukuk negara, volume project based sukuk terbesar didapati pada seri PBS014 yang nilainya sebesar Rp230,8 miliar dari 10 kali transaksi. Diikuti seri PBS012 dan seri PBS006, masing-masing sebesar Rp172,96 miliar dari 13 kali transaksi dan Rp100 miliar untuk 5 kali perdagangan.
Sementara itu, volume perdagangan surat utang korporasi yang dilaporkan meningkat dari perdagangan sebelumnya, yakni sebesar Rp1,62 triliun dari 73 seri surat utang korporasi yang diperdagangkan.
Volume perdagangan terbesar didapati pada seri Obligasi Berkelanjutan IV BFI Finance Indonesia Tahap I Tahun 2018 Seri B (BFIN04BCN1), senilai Rp398 miliar dari 10 kali transaksi. Diikuti Obligasi Berkelanjutan IV Sarana Multigriya Finansial Tahap VIII Tahun 2019 Seri A (SMFP04ACN8) dan Obligasi Berkelanjutan I Bank BRI Tahap II Tahun 2016 Seri C (BBRI01CCN2), masing-masing senilai Rp135,3 miliar dari 5 kali transaksi dan Rp78 miliar untuk 12 kali transaksi.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 16 pts (0,11%) ke level Rp14.225 per dolar AS. Penguatan tersebut terjadi sejalan dengan pergerakan nilai tukar mata uang regional terhadap dolar AS.
Rupiah Indonesia (IDR) dan won Korea Selatan (KRW) memimpin penguatan mata uang regional, dengan kenaikan sebesar 0,11%. Diikuti oleh dolar Singapura (SGD) sebesar 0,10% dan baht Thailand (THB) 0,09%.
Sebaliknya, penurunan terdalam dialami oleh yen Jepang (JPY) sebesar 0,11% dan peso Filipina (PHP) sebesar 0,01%.
Sementara itu, imbal hasil US Treasury dengan tenor 10 tahun ditutup dengan penurunan terbatas ke level 2,492%. Hal yang sama juga terjadi pada US Treasury bertenor 30 tahun, dengan penurunan terbatas ke level 2,886% di tengah kondisi pasar saham AS yang bergerak menguat.
Indeks NASDAQ ditutup menguat 129 bps ke level 7828,91 dan indeks DJIA ditutup dengan penguatan 127 bps sehingga berada di level 26258,42.
Di sisi lain, pasar obligasi Inggris (Gilt) dengan tenor 10 tahun mengalami penurunan sehingga berada di level 1,047% sedangkan tenor 30 tahun meningkat ke level 1,591%. Obligasi Jerman (Bund) bertenor 10 tahun mengalami kenaikan ke level –0,024%, sedangkan tenor 30 tahun mengalami penurunan ke level 0,622%.