Bisnis.com, JAKARTA -- MNC Sekuritas memperkirakan harga Surat Utang Negara (SUN) masih akan bergerak bervariasi dengan masih berpeluang untuk mengalami penurunan pada perdagangan Jumat (29/3/2019), didorong oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Kepala Divisi Riset Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra mengatakan bahwa para pelaku pasar pesimistis terhadap sentimen yang terjadi di perekonomian global, sehingga hal ini akan berdampak kepada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Dengan harga SUN yang masih berpeluang untuk mengalami penurunan, terutama pada SUN dengan jangka menengah dan panjang, dia menyarankan investor untuk mencermati pergerakan harga SUN dengan fokus kepada pergerakan rupiah terhadap dolar AS.
"Beberapa seri SUN yang perlu dicermati adalah FR0069, FR0053, FR0061, FR0070, FR0056, FR0071, dan FR0068," sebutnya dalam riset harian, Jumat (29/3).
Pada perdagangan Kamis (28/3), harga SUN bergerak turun di tengah melemahnya rupiah akibat perkembangan Brexit dan tingginya persepsi risiko Turki. Harga SUN rata-rata berubah 26 bps, yang mendorong kenaikan tingkat imbal hasil hingga 9,5 bps.
Untuk SUN seri acuan, semua serinya mengalami koreksi harga antara 26-51 bps, yang mengakibatkan adanya kenaikan tingkat imbal hasil hingga 6,9 bps.
Kenaikan tingkat imbal hasil terbesar didapati pada SUN seri acuan bertenor 5 tahun, yakni sebesar 7 bps ke level 7,118%, yang didorong oleh menurunnya harga sebesar 31 bps. Seri acuan dengan tenor 20 tahun mengalami kenaikan yield sebesar 5,1 bps ke level 8,151%, yang diakibatkan oleh turunnya harga sebesar 51 bps.
Seri acuan bertenor 15 tahun dan 10 tahun mengalami kenaikan tingkat imbal hasil sebesar 4,6 bps ke level 8,085% dan 3,6 bps ke level 7,637%, yang diakibatkan penurunan harga sebesar 40 bps dan 26 bps.
Pergerakan rupiah kemarin dipengaruhi oleh faktor eksternal, di mana dolar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang regional. Hal ini membuat para investor menjadi lebih pesimistis dan cenderung beralih ke aset yang lebih aman (safe haven asset) di negara-negara maju.
Selain itu, sentimen negatif juga datang dari isu Brexit dan naiknya persepsi risiko di Turki.
Investor global masih menantikan isu Brexit selanjutnya. Tidak adanya dukungan Brexit di Parlemen menambah peluang Inggris untuk tetap di bagian Uni Eropa (UE) setidaknya hingga 12 April 2019.
Adapun peningkatan risiko terjadi di Turki di mana angka Credit Default Swap (CDS) negara tersebut meningkat sebesar 50,65% selama sebulan terakhir. Turki memiliki pengaruh yang besar dalam indeks obligasi pasar negara berkembang, sehingga kenaikan persepsi risiko tersebut akan berdampak pula pada pasar uang di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Perubahan harga pada perdagangan SUN dengan denominasi dolar AS mengalami penurunan di tengah tingkat imbal hasil US Treasury yang mengalami penguatan.
Seri INDO24 mengalami penurunan harga sebesar 4,1 bps yang berdampak kepada kenaikan imbal hasil sebesar 0,8 bps ke level 3,483%. Seri INDO29 dan INDO44 juga mengalami penurunan harga masing-masing sebesar 25,8 bps dan 34,1 bps, yang mengakibatkan terjadinya kenaikan yield sebesar 3 bps ke level 3,868% dan 2 bps ke level 4,785%.
Adapun seri INDO49 mengalami koreksi harga sebesar 26,3 bps, sehingga berdampak kepada kenaikan imbal hasil sebesar 1,5 bps ke level 4,665%.
Volume perdagangan SUN yang dilaporkan pada perdagangan kemarin mengalami kenaikan dibandingkan dengan volume perdagangan sebelumnya, yaitu senilai Rp22,6 triliun dari 41 seri yang diperdagangkan.
Seri FR0077 menjadi seri dengan volume perdagangan terbesar, yakni senilai Rp5,41 triliun dari 45 kali transaksi. Diikuti oleh perdagangan obligasi negara seri FR0068 senilai Rp3,84 triliun dari 96 kali transaksi.
Untuk perdagangan sukuk negara, Surat Pembendaharaan Negara—Syariah seri SPNS08052019 menjadi sukuk negara dengan volume terbesar, yaitu Rp800 miliar dari 4 kali transaksi. Diiringi oleh Project Based Sukuk seri PBS014 dan PBS013 masing-masing sebesar Rp700 miliar untuk 22 kali transaksi dan Rp637 miliar dari 11 kali transaksi.
Namun, volume perdagangan obligasi korporasi yang dilaporkan lebih kecil daripada volume perdagangan sebelumnya, yaitu senilai Rp1,03 triliun dari 35 seri obligasi korporasi yang ditransaksikan.
Obligasi Berkelanjutan IV Mandiri Tunas Finance Tahap I Tahun 2019 Seri A (TUFI04ACN1) menjadi obligasi korporasi dengan volume perdagangan terbesar, senilai Rp205 miliar dari 6 kali transaksi. Diikuti oleh Obligasi Berkelanjutan IV BFI Finance Indonesia Tahap I Tahun 2018 Seri B (BFIN04BCN1). yakni senilai Rp159 miliar dari 6 kali transaksi.
Pada perdagangan kemarin, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami koreksi sebesar 48 pts (0,34%) ke level Rp14.243 per dolar AS. Pelemahan tersebut terjadi seiring dengan nilai tukar mata uang regional yang melemah terhadap dolar AS.
Mata uang regional yang mengalami pelemahan terbesar adalah rupee India (INR) sebesar 0,4%, diikuti rupiah Indonesia (IDR) yang mengalami koreksi 0,34%. Selanjutnya, peso Filipina (PHP) yang melemah 0,27%.
Adapun penguatan dialami oleh yen Jepang (JPY), baht Thailand (THB), dan dolar Taiwan (TWD), masing-masing sebesar 0,16%, 0,02%, dan 0,01%.
Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun mengalami kenaikan ke level 2,39%. Hal ini sejalan dengan yang terjadi pada US Treasury bertenor 30 tahun yang juga mengalami kenaikan dan berada di level 2,82%.
Kenaikan ini terjadi di tengah kondisi pasar saham AS yang ditutup di zona hijau. Indeks NASDAQ ditutup menguat 34 bps ke level 7669,17, sedangkan indeks DJIA menguat 36 bps ke level 25717,46.
Sementara itu, pasar obligasi Inggris (Gilt) dengan tenor 10 tahun dan 30 tahun ditutup turun ke level 0,988% dan 1,527%. Adapun obligasi Jerman (Bund) bertenor 10 tahun dan 30 tahun masing-masing naik ke level –0,067% dan 0,55%.