Bisnis.com, JAKARTA -- Berkurangnya pasokan bijih besi global setelah peristiwa Vale SA di Brasil disebut setara dengan hilangnya suplai minyak dunia sebesar 4 juta barel per hari.
Angka 4 juta barel itu lebih dari tiga kali lipat jumlah pemangkasan minyak OPEC saat ini, yang bertujuan untuk mengerek harga minyak dunia.
Analis Citigroup Tracy Xian Liao mengatakan produksi bijih besi yang hilang akan sulit untuk digantikan meski ada kapasitas cadangan yang dimiliki Brasil dan Australia, serta pasokan berkualitas tinggi dari China dan India.
"Risiko utama bijih besi adalah pertumbuhan permintaan China, skala dan lamanya gangguan pasokan, serta kemampuan pelaku usaha untuk merespons gangguan pasokan tersebut," ujarnya seperti dilansir Bloomberg, Selasa (5/3/2019).
Sebagai informasi, harga bijih besi telah menanjak cukup signifikan akibat jebolnya bendungan di salah satu tambang milik Vale di Brasil pada Januari 2019. Peristiwa itu menewaskan ratusan orang dan menghentikan sementara aktivitas penambangan di sana.
Peristiwa itu juga disebut memangkas pasokan bijih besi dunia hingga 4%.
Harga bijih besi mencapai US$97,06 per ton pada perdagangan 12 Februari 2019, tertinggi sejak Maret 2017.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Selasa (5/3), harga bijih besi di bursa Dalian melemah 2,06% menjadi US$92,13 per ton. Namun, harga bijih besi masih bergerak naik 14,25% secara year-to-date (ytd).
Tepat setelah kecelakaan di Brasil, Citigroup mengubah proyeksi tren harga bijih besi menjadi bullish pada awal Februari 2019 dan menaikkan perkiraan harga rata-rata tahun ini menjadi US$88 per ton, dengan target spot di level US$100 per ton.
Citigroup juga memproyeksi pasokan dari Vale, produsen bijih besi terbesar di dunia, turun menjadi 358 juta ton pada tahun ini dibandingkan dengan pasokan sebanyak 389 juta pada 2018.
Selain itu, perusahaan finansial Morgan Stanley juga memberi peringatan tentang konsekuensi dari tekanan pasokan bijih besi saat ini.
Morgan Stanley memperkirakan jumlah pasokan akan semakin mengetat dalam jangka pendek dan telah meningkatkan perkiraan harga 2019 sebesar 30% menjadi US$81 per ton. Selain itu, pasokan seaborne diprediksi hilang sebesar 5%.
Di sisi lain, Goldman Sachs Group mengatakan secara keseluruhan, harga bijih besi dalam jangka panjang sesungguhnya berada pada tren bearish.
Meski demikian, harga bijih besi bisa reli beberapa pekan mendatang ketika pabrik-pabrik China harus mengisi kembali persediaan dan permintaan baja akan meningkat.