Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah memberikan kupon sebesar 8,05% atas instrumen sukuk ritel seri SR-011 yang akan mulai dipasarkan Jumat (1/3/2019).
Berdasarkan data fitur produk SR-011 yang diterima Anugerah Sekuritas Indonesia, kupon SR-011 diberikan sebesar 205 bps di atas BI 7 Days Repo Rate. Kupon ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan 2 seri surat berharga negara (SBN) ritel yang telah dipasarkan pada awal tahun ini, yang sebesar 8,15%.
Selain itu, pemerintah juga menurunkan batas pemesanan per investor atas insutrumen ini menjadi sama seperti instrumen SBN ritel berbasis tabungan beberapa seri terakhi, yakni minimal Rp1 juta dan maksimal Rp3 miliar.
Adapun, pada seri sukuk ritel sebelumnya, yakni SR-010 yang terbit tahun lalu, batas pemesanan per investor yang diberikan pemerintah yakni minimal Rp5 juga dan maksimal Rp5 miliar.
Instrumen ini diterbitkan dengan tenor 3 tahun. Masa penawaran akan dimulai esok hingga 19 Maret 2019, lebih cepat dari rencana awal hingga 21 Maret 2018. Kupon pertama akan dibayarkan pada 10 Mei 2019.
Ramdhan Ario Maruto, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia, mengatakan bahwa kendati masa pemasaran dibuka hingga 19 Maret 2019, tetapi akan tergantung pada kuota yang tersisa. “Kuota tergantung nanti agen-agen penjual,” katanya, Kamis (28/2/2019).
Ramdhan menilai , kupon tersebut masih cukup menarik sebab kupon tersebut pun masih jauh di atas yield surat utang negara fixed rate yang beredar di pasar yang pada kisaran 7,3%. Oleh karena itu, dirinya cukup optimistis minat atas instrumen ini akan cukup tinggi.
Lagi pula, pada Maret mendatang akan ada seri SR-008 yang akan jatuh tempo dengan nilai Rp31,5 triliun. Dana jatuh tempo tersebut kemungkinan besar akan diinvestasikan kembali ke instrumen SR011 ini.
Dirinya memaklumi turunnya kupon SR-011 dibandingkan dua instrumen SBN ritel di awal tahun ini, sebab kondisi di pasar obligasi domestik kini sedang membaik. Pasar obligasi pun masih diekspektasikan akan terus membaik dalam beberapa bulan ke depan karena sejumlah sentimen negatif mulai mereda, seperti perang dagang dan pengetatan moneter The Fed.
“Saya kira penyerapan antara Rp20 triliun hingga Rp25 triliun masih bisa untuk instrumen ini,” katanya.
Ramdhan mengatakan, adanya batasan nilai pemesanan instrumen ini antara Rp1 juta hingga Rp3 miliar akan relatif menyulitkan investor institusi untuk bisa masuk ke dalam instrumen ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa instrumen yang diperuntukkan untuk ritel ini dibeli juga oleh investor institusi dengan menggunakan nominee ritel.
Tidak mengherankan bila akhirnya permintaan ada SBN ritel yang bisa ditransaksikan di pasar sekunder seperti SR dan obligasi ritel Indonesia (ORI) nilai pemesanannya bisa sangat tinggi, sedangkan SBN ritel yang tidak bisa diperdagangkan seperti sukuk tabungan (ST) dan saving bond retail (SBR) umumnya pemesanannya kurang dari Rp10 triliun.
Hanya saja, dengan batasan maksimal pembelian yang turun dari Rp5 miliar menjadi Rp3 miliar akan sedikit menyulitkan mereka, sebab itu artinya harus mengumpulkan lebih banyak nominee.
Menurutnya, pada prinsipnya SBN ritel adalah untuk investor ritel. Perubahan besaran pemesanan merupakan salah satu cara untuk menjaga itu. Korporasi atau agen penjual akan membutuhkan upaya ekstra untuk bisa masuk di pasar perdana, kendati nantinya juga bisa masuk di pasar sekunder.
“Menurut saya karena rate-nya menarik, agen penjual da investor institusi akan rela untuk lebih ribet untuk mendapatkan instrumen ini,” katanya.