Bisnis.com, JAKARTA — Sebanyak 22 emiten di Bursa Efek Indonesia mencatatkan lonjakan harga yang fantastis sepanjang awal tahun ini, yakni antara 50% hingga 226% year to date. Membaiknya optimisme pasar serta meningkatnya spekulasi investor menjadi penyebabnya.
Berdasarkan data Bloomberg per akhir pekan lalu, mayoritas emiten yang mencatatkan lonjakan harga yang sangat tinggi pada awal tahun ini berasal dari emiten dengan kapitalisasi pasar kecil di bawah Rp10 triliun.
Hanya ada 4 emiten yang memiliki kapitalisasi pasar menengah antara Rp10 triliun hingga Rp50 triliun. Keempat emiten terbesar yakni PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN), PT Indosat Tbk. (ISAT), PT Bank Permata Tbk. (BNLI) dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA).
Lonjakan harga tertinggi sepanjang awal tahun ini dibukukan oleh PT Siwani Makmur Tbk. (SIMA) yakni sebesar 226% ytd, lalu disusul PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM) sebesar 172%, dan FREN sebesar 172%.
Lonjakan harga yang tinggi pada emiten-emiten ini telah menjadi sorotan BEI sepanjang awal tahun ini. Beberapa saham sudah mendapatkan status unusual market activity (UMA) dari BEI dan dimintai penjelasan. SIMA, WIIM, FREN dan ASSA sudah mendapatkan status UMA.
Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital, mengatakan bahwa pelaku pasar menilai pasar saham pada awal tahun ini berada dalam kondisi yang relatif stabil, apalagi investor asing masuk cukup agresif.
Hal ini menyebabkan pelaku pasar cukup percaya diri untuk bermain di saham-saham lapis kedua dan ketiga, sebab saham lapis pertama dinilai sudah agak jenuh. Secara umum, ada tiga pengelompokkan faktor penyebab lonjakan harga yang signifikan pada beberapa emiten tersebut.
Pertama, adanya isu atau berita aksi korporasi yang signifikan dampaknya, seperti konsolidasi bisnis melalui merger dan akuisisi. Kedua, saham-saham tersebut sudah memiliki valuasi yang kelewat murah sepanjang 2018 lalu.
Ketiga, saham-saham tersebut sebelumnya memang memiliki harga yang tinggi, tetapi turun drastis beberapa kuartal terakhir. Investor lantas memandang saham-saham tersebut berpeluang mengalami recovery.
Alfred mengatakan, saham-saham sektor telekomunikasi, seperti FREN dan ISAT beberapa bulan terakhir terpengaruh oleh isu konsolidasi bisnis. Selain itu, khususnya ISAT, juga memiliki valuasi yang jauh lebih murah dibandingkan sejawatnya, yakni TLKM dan EXCL.
Pada level harganya yang pada kisaran Rp1.600 pada awal tahun ini, ISAT memiliki price to book value ratio (PBV) sekitar 0,6 – 0,7 kali. Kini, setelah harganya melonjak tinggi, PBV ISAT sekitar 1,36 kali. Sementara itu, PBV TLKM dan EXCL saat ini masing-masing 3,56 kali dan 1,03 kali.
Saham-saham yang tahun lalu mengalami koreksi tajam antara lain saham-saham grup Lippo, seperti PT Lippo Cikarang Tbk. (LPCK), PT Matahari Putra Prima Tbk. (MPPA) dan PT Multipolar Tbk. (MLPL). Kasus korupsi yang melibatkan pengurus proyek Meikarta tahun lalu menjadi sentimen negatif bagi Grup Lippo, tetapi kini mulai mereda.
“Kebanyakan polanya adalah recovery. Harga awalnya sudah relatif tinggi sebelum turun drastis. Sekarang, ketika melihat indeksnya naik tinggi, harga saham yang dulunya tinggi tentu berusaha kembali lagi,” katanya, Selasa (12/2/2019).
Alfred menilai, saham-saham seperti LPCK, WIIM dan ASSA masih memiliki potensi untuk meningkat lagi, meskipun harganya sudah melonjak cukup tinggi, terutama bila mengacu pada valuasi price to earing ratio (PER)-nya yang masih di bawah pasar. PER ketiganya berturut-turut 0,5x, 17,9x, dan 17,14x. Adapun, PER IHSG saat ini sebesar 20,1x.
Kendati menggiurkan, Alfred mengingatkan investor agar tetap rasional dalam mengapresiasi saham tertentu. Investor perlu tetap objektif menilai valuasinya. Bila sudah terlampau mahal, sebaiknya dihindari. Namun, bila masih murah dan memiliki fundamental baik, investor tetap bisa masuk lagi.
Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas, mengatakan bahwa membaiknya kondisi pasar menyebabkan saham-saham yang lama undervalue kembali dilirik oleh investor. Menurutnya, saham WIIM merupakan salah satu di antaranya. Sebelum rally, PBV WIIM berada di level sekitar 0,5x dengan PER yang cukup rendah mendekati 10x.
Selain itu, emiten lainnya yakni GIAA memiliki sentimen positif lain yang menjadi penunjang bagi apresiasi harga sahamnya. GIAA diuntungkan oleh penurunan harga avtur yang porsinya besar pada komponen biaya GIAA. Biaya yang lebih rendah berpotensi meningkatkan margin laba GIAA tahun ini.
Frederik menyarankan investor untuk tetap hati-hati menyikapi saham yang harganya melonjak kelewat tinggi. Faktor fundamental dan valuasi harus benar-benar diperhatikan.
“Bila investor merasa sudah terlalu mahal atau sudah mencapai target profitnya, bisa dipikirkan untuk take profi,” katanya.