Bisnis.com, JAKARTA— Sejumlah analis memproyeksikan sektor saham farmasi memiliki proyeksi yang lebih cerah pada 2019 dibanding tahun lalu sejalan dengan mulai stabilnya nilai tukar rupiah dan perluasan layanan jaminan kesehatan nasional.
Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas menjelaskan bahwa sektor saham farmasi memiliki prospek lebih cerah pada 2019 dibanding tahun lalu. Alasanya, nilai tukar rupiah diprediksi lebih stabil seiring dengan proyeksi peningkatan suku bunga The Fed yang cenderung konservatif atau 50 basis point pada tahun ini.
Dengan stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, biaya impor bahan baku lebih mudah diprediksi produsen farmasi. Dengan demikian, perseroan akan lebih leluasa dalam menentukan pricing dari produk.
Faktor lain yang akan mendorong saham emiten farmasi yakni aturan bagi warga negara Indonesia (WNI) untuk terdaftar dalam BPJS sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Oleh karena itu, volume perawatan kesehatan akan meningkat sehingga beberapa obat generik akan mendapat peningkatan permintaan.
Emiten yang memproduksi obat untuk katalog BPJS, sambungnya, akan mendapatkan keuntungan dari peningkatan jumlah peserta. Akan tetapi, yang harus menjadi perhatian yakni arus dari BPJS Kesehatan yang melakukan pembayaran kepada produsen obat.
Untuk sektor farmasi, Frederik menjadikan saham PT Kimia Farma (Persero) Tbk. sebagai top pick. Produsen farmasi pelat merah itu dinilai memiliki keuntungan dari ekspansi cabang yang dapat menjadi titik distribusi ke rumah sakit peserta BPJS.
“Secara volume penjualan akan lebih mudah tercapai dibandingkan dengan perusahaan farmasi lainnya yang bergantung kepada logistik apa lagi menggunakan pihak ketiga untuk distribusi,” jelasnya saat dihubungi, Selasa (8/1/2019).
Dalam riset Equity Market Outlook 2019, Tim Analis Ciptadana Sekuritas menuliskan bahwa industri farmasi domestik sangat terfragmentasi dan didominasi oleh perusahaan lokal dengan pangsa pasar 72,9%. Saat ini, porsi obat generik bermerek mendominasi pasar dengan persentase 54% diikuti oleh produk lisensi 28%, dan obat generik tanpa merek 18%.
Dalam 3 tahun terakhir, pertumbuhan pasar farmasi tercatat hanya satu digit. Alasannya, terjadi transisi demografis dan pengunaan obat-obatan yang semakin efisien.
Sejalan dengan program jaminan kesehatan nasional (JKN), pertumbuhan penjualan obat generik tanpa merek akan menjadi yang paling cepat. Pasalnya, masyarakat lebih banyak memiliki akses terhadap kategori obat tersebut.
Tim Analis Ciptadana Sekuritas memproyeksikan kondisi itu akan membuat porsi dari obat generik tidak bermerek menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, PT Kalbe Farma Tbk. yang menargetkan untuk meningkatkan katalog BPJS berkontribusi sebesar 10%-15% pada 2019 atau naik dari satu digit tahun sebelumnya.
Namun, risiko utama dari obat generik tidak bermerek memiliki batasan harga dari BPJS. Dengan demikian, margin keuntungan mungkin tidak berkelanjutan untuk proses produksi.
Di sisi lain, terkait dengan pelemahan nilai tukar rupiah, akan berimbas terhadap kinerja keuangan perseroan. Kondisi itu sejalan dengan tingginya ketergantungan terhadap bahan baku impor.
Tim Analis Ciptadana Sekuritas menyebut perseroan seperti Kalbe Farma terus memantau dinamika nilai tukar rupiah. Pasalnya, biaya bahan baku berkontribusi terhadap 70%-95% harga pokok penjualan.
Analis Ciptadana Sekuritas Stella Amelinda, dalam riset yang sama, memberikan rekomendasi hold untuk saham Kalbe Farma. Target harga berada di level Rp1.500 per saham.