Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong agar perdagangan Indonesia dengan negara lain, terutama China, untuk memakai mata uang renminbi atau yuan guna mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat.
Pasalnya, transaksi perdagangan yang terjadi saat ini antarkedua negara justru masih menggunakan mata uang dari negeri Paman Sam tersebut. Sementara itu, ekspor dan impor terbesar Indonesia saat ini adalah dengan negeri Tiongkok tersebut.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Juli 2018, andil keseluruhan ekspor Indonesia ke China sebesar 15,38%. Sementara itu, untuk impor dari China porsinya mencapai 27% dari total impor.
Apindo pun mendesak pemerintah untuk dapat mengeluarkan aturan yang lebih tegas terhadap penggunaan renminbi tersebut dalam transaksi perdagangan, karena aturan terkait renminbi yang sudah ada dari Bank Indonesia saat ini masih belum efektif.
Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani mengatakan bahwa saat ini pihaknya telah berkomitmen bersama-sama pemerintah untuk terus mengupayakan agar rupiah tidak terus mengalami tekanan, dan salah satunya adalah mengurangi ketergantungan dolar AS dalam perdagangan.
"Ekspor dan impor kita yang terbesar itu kan dengan China. Nah, kalau kita bisa melakukan kegiatan perdagangan berdasarkan basisnya renminbi, itu akan mengurangi permintaan terhadap dolar," ujarnya, Jumat (14/9/2018).
Menurutnya, hal itu menjadi penting, selain sejumlah kebijakan yang telah diambil pemerintah untuk menstabilkan rupiah, seperti melalui pembatasan impor dengan penyesuaian tarif PPh 22.
Pasalnya, diakuinya bahwa kecenderungan orang di Indonesia saat ini yang sudah punya dolar, enggan untuk mengonversikannya ke mata uang rupiah.
"Misalnya orang punya tabungan, mereka akan melihat situasi. Tapi kalau rush enggak, maksudnya orang yang menukar rupiah ke dolar, itu enggak. Tapi dia enggak nuker ke rupiah juga. Sementara permintaan dolar kan ada terus, entah untuk perdagangan dan sebagainya," ujarnya.
Oleh sebab itu, pihaknya mendorong perdagangan dengan negara lain menggunakan currency yang berbeda, sehingga ketergantung terhadap dolar bisa menurun, yang pada ujungnya juga menekan current account defisit (CAD) saat ini agar tidak semakin melebar.
Apalagi, renminbi sudah diakui oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund /IMF) sebagai mata uang internasional.
"Jadi bukan hanya sekadar mengurangi impor dan mendorong ekspor, tapi juga bagaimana kita mengolah currency itu menjadi basis line kita untuk perdagangan," ujarnya.
Menurutnya, perjanjian yang telah dimiliki Bank Indonesia (BI) dengan People's Bank of China (PBC) terkait pertukaran mata uang antara rupiah dan renminbi dalam sektor perdagangan atau disebut Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) sejak 2009, pelaksanaannya belum efektif karena tak ada intervensi dari negara.
"[Aturan BI kan dah ada ] Sudah ada, tapi masalahnya enggak ada trust. Nyatanya sekarang mereka masih enggak percaya, masih aja pakai dolar," ujarnya.
Menurutnya, untuk membereskan itu harus ada kesepakatan secara keseluruhan, seperti adanya kebijakan goverment to goverment dengan memberikan insentif tertentu.
"Kalau dilepas begini, enggak ada intervensi negara, ya begini, orang masih percaya pegang dolar. Makanya kita perlu ada kebijakan goverment to goverment supaya orang itu tertarik dan tidak pegang dolar mulu. Tapi harus ada insentif kan. Nah kira kira apa nih insentif kedua negara supaya sama-sama. China juga kan lagi repot nih, dia kan juga keteken juga situasinya," ujarnya.
Pihaknya mengakui bahwa usulan tersebut telah disampaikan langsung kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mendapat tanggapan yang positif. Namun demikian, bentuk insentif yang memungkinkan untuk diberikan sedang dibicarakan lebih lanjut.
"Nanti kita mau cari instrumennya apa sehingga orang merasa menarik. Ini kan menguntungkan kedua belah pihak. Kita mau bicara mau kita dudukin. Karena kalau kita begini terus dan enggak ada upaya intervensi dari kedua negara, ya begini aja. Dolar lagi dolar lagi," ujarnya.