Bisnis.com, JAKARTA – Dengan harga tembaga yang terus bearish sepanjang bulan ini, keberuntungan logam merah itu berkaitan erat dengan mata uang China.
Ketakutan akan krisis ekonomi Turki yang diperkirakan bisa meluap ke emerging markets memicu aksi beli, membuat harga tembaga merosot dari penguatan harganya selama dua tahun terakhir.
Korelasi logam dasar tersebut dengan yuan yang menyentuh level rekor terendah, menegaskan peran penting dari mata uang China dan industri pembangkit listriknya bagi outlook logam dasar.
Baca Juga
“Harga logam dasar saat ini disetir oleh pasar mata uang. Korelasinya ada karena seluruh aset juga terseret oleh faktor makro yang sama,” kata Guy Wolf, Kepala Analisis Pasar Marex Spectron, dikutip dari Bloomberg, Selasa (28/8).
Penguatan yuan menjadi penting bagi pengimpor bahan mentah di China, yang selama ini juga menjadi konsumen utama logam industri dunia.
Namun pada April lalu, hubungan antara keduanya – mata uang yuan dan tembaga – menghilang karena dipicu oleh faktor lain seperti pertumbuhan manufaktur global dan outlook kendaraan listrik, yang memberikan alasan lebih besar bagi investor untuk melakukan aksi beli.
Hubungan antara keduanya kini kembali menguat seiring dengan yuan yang semakin melemah mendekati level terendahnya selama 19 bulan dan harga tembaga yang melayang di kisaran US$6.000 per ton di London Metal Exchange (LME).
Selain itu, mata uang peso Chili juga terus melemah. Hal itu membuat upah tenaga kerja menurun di perusahaan produsen tembaga teratas di dunia dan menciptakan insentif bagi para penambang untuk menambah produksinya.
“Fundamental untuk tembaga baik-baik saja, tetapi nilai tukar mata uang membuatnya semakin mahal bagi pembeli dari China dan semakin menarik bagi pengekspor Chili, maka harganya hanya akan bergerak satu arah, antara terus turun atau terus naik,” lanjut Wolf.
Dengan pelemahan yuan, yang membuat harga logam semakin mahal karena sebagian besar dihargai dengan dolar AS, justru bisa membantu China mencapai target pertumbuhannya dengan menurunkan biaya seperti biaya tenaga kerja di sejumlah manufaktur negaranya karena China masih mengukur dampak perang dagang dengan AS.
Namun, sejumlah analis JPMorgan mengatakan bahwa pemerintah China tidak akan membiarkan mata uangnya terus melemah, dan Pemerintah China bergantung pada pelonggaran biaya pinjaman dan penurunan pajak untuk meningkatkan permintaan.
“Dorongan untuk yuan sejauh ini tidak masif seperti pada 2008, tetapi Pemerintah China sadar bahwa mereka harus memberikan sejumlah stimulus. Jika support tersebut bisa memberikan pengaruh ke perekonomian China, maka akan memicu short-covering untuk logam industri,” papar Xiao Fu, Kepala Strategi Komoditas Global BOCI Global Commodities UK Ltd.
Pada titik tersebut, Wolf melanjutkan bahwa hubungan antara yuan dan tembaga akan kembali merenggang, seiring dengan harga logam yang reli pembuat kebijakan China bisa meyakinkan mata uangnya tetap stabil.
“Di satu titk korelasi antara yuan dan tembaga akan merenggang, karena yuan kemungkinan akan terus melemah semau Pemerintah China. Saya yakin, pada akhir tahun harga tembaga akan kembali naik, tetapi belum bisa memastikan kapan akan kembali menguat untuk jangka pendek jika melihat kondisi makro.”