Bisnis.com, JAKARTA — Penyeimbangan ulang komposisi portofolio dari salah satu produk exchange traded fund atau ETF terbesar di pasar negara berkembang, yakni Ishare MSCI Emerging Market ETF, ditengarai menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tekanan di bursa saham Indonesia.
Jason Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas mengatakan dalam 20 tahun terakhir, pertumbuhan pasar saham Indonesia menjadi yang tertinggi di antara negara-negara berkembang lainnya dalam indeks MSCI emerging market.
Hal tersebut menjadikan bobot market cap Indonesia dalam ETF Ishare semakin tinggi. Valuasi pasar Indonesia mulai dipandang kemahalan sehingga butuh penyesuaian ulang dalam portofolio produk-produk derivatif global, terutama ETF Ishare.
Menurut definisinya, ETF Ishare merupakan ETF yang mengikuti indeks MSCI emerging market dengan menggenggam saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan menengah di pasar negara berkembang. ETF ini menggunakan metode kapitalisasi pasar dan diseimbangkan ulang setiap kuartal.
Jason mengatakan, saat ini terjadi penyeimbangan ulang atau rebalancing di ETF ini, terutama terhadap emiten-emiten besar dari Indonesia yang menjadi portofolionya yang telah mengalami peningkatan signifikan sepanjang tahun lalu. Alhasil, sejumlah besar dana asing keluar dari pasar Indonesia.
“Faktor pelemahan IHSG kita bukan hanya karena pengaruh eksternal kebijakan Donald Trump atau penguatan dollar dan pelemahan rupiah, tetapi terutama karena normalisasi bobot ETF Ishare terhadap emitem-emiten Indonesia agar tidak bubble,” katanya, dikutip Senin (30/4/2018).
Baca Juga
Ishare MSCI Emerging Market ETF dikelola oleh BlackRock. Ada 29 emiten Indonesia yang masuk dalam ETF ini dengan bobot terbesar yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. 0,25%, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. 0,23%, PT Astra International Tbk. 0,19%, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. 0,17%, dan PT Bank Central Asia Tbk. 0,28%.
Pembobotan tiap emiten dalam ETF ini diatur oleh sistem artificial intelligent yang bekerja secara otomatis. Selain itu, turut difaktorkan pula prospek sektoral dari tiap emiten.
Hal tersebut menyebabkan bobot sejumlah emiten kakap Indonesia tidak selalu lebih tinggi dibandingkan emiten mid cap bila sentimen sektoralnya kurang baik, seperti sektor konsumer misalnya.
“Strateginya saat ini adalah dengan menghindari emiten-emiten yang memiliki bobot paling besar dalam ETF ini sebab masih ada potensi rebalancing lanjutan. Atau, cari emiten-emiten yang tidak di-holding oleh ETF ini,” katanya.
Emiten | Bobot | Emiten | Bobot | Emiten | Bobot | Emiten | Bobot | Emiten | Bobot | Emiten | Bobot |
UNTR | 0,08 | SMGR | 0,04 | JSMR | 0,01 | GGRM | 0,04 | BBNI | 0,08 | AKRA | 0,01 |
UNVR | 0,09 | PGAS | 0,03 | INDF | 0,04 | CPIN | 0,04 | BMRI | 0,17 | ADRO | 0,04 |
TBIG | 0,02 | PWON | 0,02 | ICBP | 0,03 | BSDE | 0,02 | BDMN | 0,03 | EXEL | 0,01 |
TLKM | 0,25 | LPPF | 0,04 | INTP | 0,04 | BBTN | 0,02 | BBCA | 0,28 | WSKT | 0,01 |
SCMA | 0,02 | KLBE | 0,04 | HMSP | 0,04 | BBRI | 0,23 | ASII | 0,19 |
|
|
Sumber: Bloomberg