Bisnis.com, JAKARTA – Harga nikel mengalami penguatan setelah meredanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Diperkirakan pada kuartal II/2018 harga nikel akan melaju hingga mencapai level US$13.500 per ton.
Pada penutupan perdagangan Selasa (27/3) harga nikel di London Metal Exchange (LME) kontrak teraktif April 2018 naik 43,50 poin atau 0,34% menjadi US$12.955 per ton, penguatan 2 sesi berturut-turut setelah mengalami pelemahan hampir 4% pada pekan lalu.
Secara year to date (ytd), harga terpantau tumbuh tipis sebesar 1,04% setelah ditutup di level US$12.760 per ton pada 29 Desember 2017. Tahun lalu, harga komoditas logam industri ini mengalami penguatan hingga 25,16%.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim menuturkan bahwa harga nikel mengalami rebound paska meredanya perang dagang antara AS dan China yang lebih memilih untuk mengambil jalan win-win solution.
“Meredanya ketegangan memberi dorongan pelemahan dolar kendati sempat mengalami penguatan. Hal ini mengakibatkan harga nikel kembali terkerek,” kata Ibrahim kepada Bisnis, Rabu (28/3/2018).
Indeks dolar AS terpantau masih belum bertenaga untuk menggapai kembali level di atas 90. Tercatat, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan kurs dolar AS sempat mencapai level terendah dalam lebih dari 1 bulan di level 89,027 pada awal pekan ini.
Dari segi permintaan, Ibrahim menuturkan akan terjadi peningkatan. Pasalnya, hal itu didorong oleh disetujuinya anggaran belanja sebanyak US$1,3 triliun.
Hal tersebut dinilai akan mendorong pembangunan infrastruktur di AS dan akan mengerek permintaan nikel sebagai salah satu bahan baku pada sektor infrastruktur.
“Permintaan dengan sendirinya bakal bisa meningkat. Selain AS, permintaan dari importir-importir tradisional lainnya, seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan India juga diperkirakan bakal meningkat,” papar Ibrahim.
Mengutip informasi dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi paska China melakukan reformasi tambang, kendati belum dipastikan kapan waktu kebijakan tersebut akan dihentikan.
Ibrahim menambahkan bahwa pasar nikel diperkirakan akan mengalami defisit seiring dengan permintaan yang kuat dan faktor gangguan pasokan, terutama di Filipina yang hingga saat ini masih dilakukan pembatasan penambangan dan ekspor.
“Harga kemungkinan akan masih dapat menguat. Diperkirakan pada kuartal II/2018, harga rata-rata mencapai US$13.500 per ton,” lanjutnya.
Ibrahim juga memproyeksikan bahwa harga nikel akan semakin melaju pada kuartal III/2018 yaitu sebesar US$14.700 per ton kendati pada kuartal terakhir di tahun ini diprediksi akan menurun ke level US$14.000 per ton seiring dengan pengaruh dari kenaikan suku bunga The Fed.
Senada, analis riset di Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hady mengatakan bahwa harga nikel di LME mengalami penguatan karena pembatasan penambangan dan ekspor di Filipina. Negara tersebut merupakan pemasok nikel utama ke China setelah Indoensia melarang pengapalan bijih sejak 2014.
Adapun, International Nickel Study Group (INSG) juga menyampaikan bahwa masih akan terjadi defisit di pasar nikel global. INSG menyebutkan defisit nikel pada November 2017 mencapai 8.400 ton. Jumlah tersebut menurun dari bulan sebelumnya sejumlah 11.500 ton. “Kami masih merekomendasikan beli terhadap nikel”.