Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pengamat pasar menilai volatilitas di pasar saham domestik terdampak terutama dari kondisi perekonomian di Amerika Serikat. Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah indikator ekonomi di Negeri Paman Sam cukup mengejutkan pasar.
Presiden Direktur Asanusa Asset Management Siswa Rizali mengungkapkan tingkat US Treasury terus mencatatkan rekornya dari sebelumnya naik 2,4% menjadi saat ini di kisaran 2,7%. Hal ini berdampak langsung pada koreksi nilai tukar rupiah.
Kendati demikian, secara umum fundamental makro dalam negeri dinilai masih cukup kokok untuk menyeimbangkan sentimen global. Apalagi, data ekonomi yang dirilis dalam sepekan terakhir menunjukkan kondisi positif.
“Masih wajar [terjadi perlemahan IHSG], karena sudah sempat menguat banyak. Fundamental makro kita cukup baik dan bahkan pertumbuhan ekonomi masih dalam tren naik,” ungkap Siswa di Jakarta, Selasa (6/2/2018).
Dengan kondisi fundamental perekonomian yang positif, Siswa mengatakan kalau pun terjadi gejolak finansial, sektor riil akan tetap tidak terdampak signifikan.
Menurut Siswa, tingkat yield US Treasury memengaruhi tidak hanya pasar saham domestik, tetapi juga bursa global. Kenaikan US Treasury akan memengaruhi emerging debt, sehingga dapat berisiko mengoreksi indeks.
Merespons volatilitas IHSG, Siswa merekomendasikan saham-saham big cap yang belum menunjukkan peningkatan signifikan seperti ASII, SMGR, dan PGAS.
Head of Research BNI Asset Management Susanto Chandra menyampaikan ada kekhawatiran pada investor mengenai potensi suku bunga Amerika Serikat yang bisa naik lebih cepat dan ditempuh lebih dari tiga kali sepanjang tahun ini.
Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks yang sempat terkoreksi lebih dari 2% pada sesi I perdagangan tertolong dengan pembukaan bursa Uni Eropa dan US Stock Futures Point kembali menguat di level 3,4% setelah sebelumnya drop 4,7%.
“Pergerakan IHSG ini sifatnya karena ekspektasi kenaikan inflasi US sehingga bisa mendorong suku bunga. Dari awal tahun ada kenaikan cepat sampai 6.700, wajar jika IHSG ‘bernapas’,” ungkap Susanto.
Menurutnya, perlemahan IHSG justru menjadi peluang bagi investor untuk masuk pasar, terutama investor jangka panjang yang concern terhadap pertumbuhan ekonomi dan fundamental perusahaan.